sejarah panjang suporter pemberani (BONEK)
Pertama, Bonek adalah pelopor gerakan tret-tet-tet ke Senayan Jakarta
era Green Force Persebaya Divisi Utama PSSI Perserikatan 1986/1987
silam. Waktu itu, belum ada satu kubu suporter pun yang tret...-tet-tet
secara terorganisasi mengiringi tim kesayangannya melakoni babak Enam
Besar Divisi Utama Perserikatan. Waktu itu, hanya Bonek yang go to
Senayan dengan mengenakan busana kebesaran berupa kaos warna hijau
dengan gambar atau logo Wong Mangap (orang berteriak penuh semangat dan
keberanian).
Memang, waktu itu belum ada julukan Bonek. Mereka dikenal dengan nama
para suporter Green Force Persebaya. Pelopor dari gerakan tret-tet-tet
ini adalah Jawa Pos, lebih tepatnya adalah Pak Dahlan Iskan yang
sekarang menjadi Big Boss Jawa Pos & Group.
Waktu itu, Jawa Pos membuat ribuan kaos berlogo Wong Mangap, dan dijual
dengan harga murah. Seingat kami pada 1987 itu seharga Rp 1.000 per
potong kaos. (Harga rokok Gudang Garam kretek isi 10 masih Rp 300 per
pak). Pendek kata, Senayan dihijaukan oleh arek-arek Suroboyo. Mereka
membentang spanduk raksasa yang digantungkan di atas tribun timur dan
barat. Luar biasa! Sayang, di final Persebaya kalah 0-1 oleh PSIS
Semarang. Namun, semuanya berjalan tertib, tidak ada kerusuhan apa pun.
Usai final, beberapa suporter Green Force menyalami Syamsul Arifin dan
kawan-kawan. Ada yang bilang: ’’Ojo sedih Cak. Tahun ngarep insya Allah
Persebaya juara!’’ Tembusnya Persebaya ke babak final pada 1986/1987
sudah merupakan gebrakan yang luar biasa. Sebab, pada musim kompetisi
1985/1986 Persebaya terpuruk di peringkat ke-9 dari seluruh (10) klub
Divisi Utama. Raihan terburuk sepanjang sejarah Persebaya kala itu.
Itulah sebabnya Pak Dahlan Iskan, waktu itu masih Pemimpin Redaksi Jawa
Pos, mengundang parar tokoh sepak bola Surabaya untuk merumuskan solusi
kebangkitan kembali Persebaya. Bang Moh – sapaan akrab Mohammad Barmen,
Pak Tiyanto Saputra dan tokoh-tokoh lainnya sarasehan di ruang redaksi
Jawa Pos, di lantai 2 Kantor Jawa Pos di Jalan Kembang Jepun. Setelah
itu Pak Dahlan pergi ke Inggris untuk mengamati Premier League Inggris,
termasuk perilaku para suporternya. Sepulang dari Inggris itulah ide
tret-tet-tet dengan kaos kebesaran dan slayer suporter Green Force
Persebaya muncul! Logo Wong Mangap kali pertama diciptakan oleh Mister
Muhtar, desainer grafis Jawa Pos. Loga pertama bercorak ekspresionis.
Kemudian diubah pada musim kompetisi 1988/1989 dengan Wong Mangap
bercorak naturalis seperti yang kita lihat sampai sekarang. Dan, sejak
itu pula julukan Bonek dilansir oleh redaktur olahraga Jawa Pos,
termasuk oleh saya sendiri sebagai redaktur olahraganya. Istilah Bonek,
seperti yang kami singgung dalam tulisan sebelumnya, dimaksudkan untuk
mewarisi karakter pejuang nan pemberani dan pantang menyerah dari kakek
moyang arek-arek Suroboyo pada tahun 1945. Peristiwa heroik dan
bersejarah yang melahirkan Hari Pahlawan 10 Nopember! Semangat berani
karena benar, pantang menyerah, tali duk tali layangan, awak situk
ilang-ilangan itulah yang harus menitis dalam jiwa dan perilaku Bonek
sepanjang zaman! Bahwa kemudian dalam perjalanannya terjadi berbagai
kerusuhan yang disebabkan oleh ulah Bonek, sungguh hal ini sangat
memprihatinkan bagi seluruh warga Surabaya. Karena itu, sekarang bukalah
lembaran sejarah baru: Bonek yang pro fair play, yang cinta damai, anti
anarkisme, dan pembela sejati Green Force Persebaya! Itu tadi secuil
flash back perjalanan sejarah Bonek. Kedua, kami melihat adanya
ketidakadilan dari perlakuan media massa terhadap Bonek. Prinsip-prinsip
cover both side dan balancing sepertinya telah diingkari oleh media
massa. Barangkali, kami bisa dikatakan melakukan pleidoi (pembelaan)
terhadap arek-arek Bonek. Maka, kami pun akan menjawab: ’’Ya!’’ Ketika
arek-arek Bonek melakukan kerusuhan, beritanya diposisikan sebagai head
line (HL) dengan foto besar-besar. Padahal, sebenarnya kita belum tahu
persis siapa yang memicu kerusuhan. Misalnya saling lempar antara Bonek
dengan warga Jawa Tengah. Siapa yang bisa membuktikan bahwa pelempar
awalnya Bonek, atau sebaliknya pelempar awalnya warga Jateng. Betapa
pun, kita semuanya yang mencintai Persebaya tetap prihatin terhadap
kejadian yang sangat tidak diinginkan itu. Di dalam hati kita berdoa:
’’Semoga Allah SWT membimbing arek-arek Bonek menjadi suporter sejati
yang layak jadi panutan suporter Nusantara. Jauhkanlah mereka dari
tindakan-tindakan emosional yang merugikan nama besar Bonek dan
Persebaya. Kembalilah pada semangat Bonek seperti musim kompetisi divisi
utama perserikatan 1986/1987. Kobarkanlah kembali heroisme para pejuang
kemerdekaan 1945 di Surabaya yang luhur dan mulia itu. Amin.’’
Kerusuhan sebenarnya sudah ada pada 1987/1988 yang dilakukan arek-arek
Bonek yang di luar koordinasi Jawa Pos. Kejadian saling lempar dalam
perjalanan kereta api yang mengangkut Bonek dari Jakarta pulang ke
Surabaya. Waktu itu Jawa Pos pun membayar kerugian yang dialami PJKA
sekarang PT KAI sebesar Rp 50 juta. Nah, ketika belakangan arek-arek
Bonek melakukan gerakan pencerahan, menjalin hubungan damai kembali
dengan Pasoepati – julukan suporter Persis Solo, gerakan ini tak
diberitakan sama sekali. Ketika Arema juara ISL 2009/2010, dan Aremania
melakukan pesta juara di Malang, ada sejumlah oknum Aremania yang
merusak mobil-mobil berplat L. Tapi, tak lama kemudian, sejumlah
Aremania lainnya menghajar sendiri oknum-oknum Aremania yang berbuat
rusuh itu. Keesokan harinya, arek-arek Bonek mencegat mobil-mobil
berplat N. Mereka sama sekali tidak melakukan kerusakan, malahan
sebaliknya memberikan bunga kepada sang sopir. Firman, yang di akun
facebook bernama Bonek Pinggiran Kota menceritakan, waktu itu sopir dan
penumpang mobil berplat N sempat ketakutan. Namun, setelah mereka disapa
ramah dengan pemberian bunga tanda cinta damai, mereka pun tersenyum.
Peristiwa ini pun sama sekali tidak diberitakan oleh media massa.
Ketiga, secara tidak sengaja kami berkomunikasi dengan sejumlah Bonek.
Ada yang dari Jakarta antara lain Andhi Bonek Jakarta, Sawoenggaling
Soerabaja, ada yang dari Jogja antara lain Fajar Junaedy, 28 tahun,
dosen broadcasting Universitas Muhammadiyah Jogjakarta yang juga Bonek.
Ada Dyota, Bonek Pinggiran Kota, Yudha Bonek, Dedy Ambon dari Surabaya.
Ketika berkontak ria soal sepak bola, kami pun terkejut. Ternyata
kalimat-kalimat dan pemikiran mereka cerdas. Mereka mencintai sepakbola
dan menyayangi klub Persebaya dengan wawasan yang luas. Di situ kami
baru tahu, mengapa mayoritas Bonek lebih pro Persebaya 1927. ’’Kami
sebenarnya membela kedua-duanya, baik Persebaya 1927 maupun Persebaya
Divisi Utama. Tapi setelah Persebaya Divisi Utama bermain di kandang
dengan bantuan penalti-penalti palsu, didukung dengan tindakan wasit
yang tidak fair, kami pun kecewa berat. Karena itu sekarang hampir semua
Bonek pro Persebaya 1927,’’ kata Yudha Bonek. Pecahnya Persebaya
menyadi Persebaya 1927 dan Persebaya Divisi Utama itu sendiri adalah
korban dari pertarungan elite sepak bola nasional. Hanya Persebaya yang
terbelah dua! Karena itu, arek-arek Bonek mendambakan kembalinya SATU
PERSEBAYA! Kini, tumbuh lapisan baru arek-arek muda Bonek yang gencar
melakukan gerakan pencerahan. Mereka berjuang keras menegakkan
kedamaian. Bahkan arek-arek Bonek Jakarta dan Jogja kini sedang membikin
Buku Sejarah Bonek. Fajar Junaedy dari Jogja juga membuat VCD Sejarah
Bonek. Dia telah mewawancarai pencipta logo Wong Mangap, yaitu Mister
Muhtar dan Budiono, termasuk kami sendiri dan beberapa saksi sejarah
tret-tet-tet 1986/1987. Mereka adalah anak-anak muda intelek, kreatif,
mempelajari berbagai pengetahuan tentang sepak bola dengan rajin membuka
situs. Mereka berdebat dengan rasional dan dengan hati yang dingin.
Semoga gerakan pencerahan arek-arek Bonek ini menemukan puncak yang
gemilang. Hal ini ditandai dengan semakin ramah dan sportifnya arek-arek
Bonek di mana pun berada. Perlu diingat, soal kerusuhan suporter bukan
hanya Bonek yang melakukan. Berbagai fakta menjadi bukti. Kubu-kubu
suporter lain pun melakukan kerusuhan. Mungkin lebih tepat disebut
oknum-oknum, bukan kubu suporter secara keseluruhan. Bahkan suporter di
negara yang maju dan menjadi nenek moyangnya sepak bola pun, kerusuhan
suporter masih saja ada. Semoga pejuangan lapisan muda intelektual Bonek
itu menuai hasi gemilang. Amin
Langganan:
Postingan (Atom)