Terima Kasih Atas Kunjungan anda.. Agar Lebih Mudah Mengunjungi Blog ini lagi, BOOKMARK blog ini dengan CTRL+D !

BONEK

Bondho Nekat



Contoh logo Bondho Nekat Bonek dari sekelompok pendukung atau suporter kesebelasan Persebaya Surabaya.
Istilah Bonek, akronim bahasa Jawa dari Bondo Nekat (modal nekat), biasanya ditujukan kepada sekelompok pendukung atau suporter kesebelasan Persebaya Surabaya, walaupun ada nama kelompok resmi pendukung kesebelasan ini yaitu Yayasan Suporter Surabaya (YSS).

Sejarah

Nama Bonek

Istilah bonek pertama kali dimunculkan oleh Harian Pagi Jawa Pos tahun 1989 untuk menggambarkan fenomena suporter Persebaya yang berbondong-bondong ke Jakarta dalam jumlah besar. Secara tradisional, Bonek adalah suporter pertama di Indonesia yang mentradisikan away supporters (pendukung sepak bola yang mengiringi tim pujannya bertandang ke kota lain) seperti di Eropa. Dalam perkembangannya, ternyata away supporters juga diiringi aksi perkelahian dengan suporter tim lawan. Tidak ada yang tahu asal-usul, Bonek menjadi radikal dan anarkis. Jika mengacu tahun 1988, saat 25 ribu Bonek berangkat dari Surabaya ke Jakarta untuk menonton final Persebaya - Persija, tidak ada kerusuhan apapun.

Maura Hally, Ball Winning Midfielder

Pada kesempatan lalu kami menemui Yongky Kastanya, dari beliau tertinggal satu kalimat pernyataan yang merupakan kunci untuk segera kami cari tahu. “Duet ideal saya dengan hally,kami saling melengkapi.”, itu pernyataannya.
Berbekal informasi, melajulah kami menuju timur surabaya, tempat dimana beliau bermukim. Perawakannya masih sehat sama seperti kala bermain di jaman-jaman keemasan,era 80an.
Awal Karir, PSAD dan Persebaya Junior
“Orangtua suka sepakbola meski bukan pemain bola. Sejak kecil saya sudah suka sepakbola, saya sendiri tidak tahu kenapa. Itu (jiwa sepakbola) alami.”
“Saya lahir di Malang, di kota itu saya sudah bermain sepakbola. SD saya pindah ke Surabaya. Klub pertama saya PSAD Bhaskara Jaya, saya masuk tahun 1972.”
Karena kecintaannya kepada sepakbola dan semangat ingin terus berkembang, beliau tak segan menambah porsi latihan sendiri diluar latihan rutin,
“Awalnya orangtua menginginkan saya ke bidang lain (selain sepakbola) tapi saya punya jiwa sendiri. Waktu SD, setiap pagi saya berlari (latihan fisik) sendiri tanpa disuruh orang lain, itu inisiatif sendiri.”
Maura Hally muda
Kegemaran pada si kulit bundar sejak kecil membuat beliau berangan-angan kelak suatu saat bisa memperkuat Timnas dengan logo Garuda di dada.
“Saking pengennya punya kaos Garuda (Timnas) di dada, saya sampek beli patch Garuda di Keputran kemudian saya jahit di kaos oranye kemudian jalan dan bergaya seperti pemain Timnas.”
Tak lama setelah memperkuat PSAD beliau dipanggil memperkuat Persebaya Junior dan membawa Persebaya Junior menjuarai Piala Soeratin Jatim, sayang prestasi tersebut tidak berlanjut di level yang lebih besar lagi (Piala Soeratin di Jakarta).
“Setelah (PSAD), saya ikut Persebaya Junior tahun 1979. Jamannya Muharrom (Rusdiana), Sasono Handito, Nuryono Hariadi. Pelatihnya waktu itu J.A Hattu, Bapaknya Ferrel (Hattu).”
“Di Persebaya Junior kami menjuarai Piala Soeratin Jatim, dan kami ke Jakarta, sayangnya kami gagal di Jakarta.”
Persebaya junior
PON Lampung dan juara Galatama
Kerja keras beliau selama di PSAD dan Persebaya Junior diendus oleh salah satu tim Galatama, Jaka Utama Lampung.
“Ada tim dari Lampung (Jaka Utama), waktu itu di PSAD saya jarang bermain. Kemudian ada teman yang kakaknya main di Jaka Utama mengajak saya ke penginapan Jaka Utama, kebetulan tim Jaka Utama dari Lampung datang dan uji coba dengan PSAD, waktu itu usia saya 17 tahun. ”

Jaka Utama Lampung
“Di penginapan saya ketemu dengan Jacob Sihasale,kakak teman saya bilang : Cob, ini anaknya.”
“Kemudian saya ditawari bermain ke Galatama di Lampung, saya oke saja karena suka sepakbola.”
Di Jaka Utama, beliau sempat dipandang sebelah mata lantaran posturnya yang memang mungil. Maura Hally muda tidak pernah merasa down, hal itu justru semakin memotivasi dirinya.
“Di Lampung saya jarang dimainkan, tapi tidak apa-apa karena saya punya prinsip saya tidak mengejar materi tapi prestasi, saya rutin menambah porsi latihan sendiri.“
“Bahkan bosnya Jaka Utama sempat bilang: Cob,kamu bawa anak kok kecil, bisa apa dia ???.”
“Tenang saja,pak”, begitu jawaban Jacob Sihasale.
Beliau juga mengagumi Jacob Sihasale striker Persebaya di era 60-an yang menjadi pelatih beliau di Jaka Utama dan Yanita Utama,
“Saat itu Jacob sedang diwawancara wartawan di lapangan, tiba-tiba Abdul Kadir berteriak sembari menendang bola ke atas kepala Jacob. Jacob spontan langsung memutar badan untuk meloncat dan melakukan salto dan bola tendangan Jacob meluncur mulus di sudut gawang. Kami semua dan wartawan yang mewawancara seperti tercengang melihat aksi Jacob”
“Lain dengan Abdul Kadir, tendangan kaki kirinya kencang sekali.”
“Selalu bilang Assalammualaikum begitu menendang. Bola keras masuk ke gawang, tanpa berhasil dihalau kiper.”
Bagi beliau perjalanan jauhnya ke Lampung meninggalkan orang tua di Surabaya semata-mata bukan karena faktor materi melainkan keinginan untuk meraih prestasi, kerja keras serta kesabaran beliau akhirnya terbayarkan dengan gelar pertama. Memperkuat tim PON Lampung dan meraih medali emas untuk pertama kali dalam sejarah keikutsertaan Propinsi Lampung. Prestasi itupun mengangkat namanya di kancah persepakbolaan nasional.
“Saya bergabung dengan tim PON Lampung tahun 1981, itu pertama kali Lampung juara PON. Waktu itu difinal kami ketemu Sumatera Utara, pemain Sumatera Utara banyak dari Klub seperti Mercubuana, PardedeTex, PSMS.”

Medali Asean, Medali PON 1981, Medali Persija Cup
“Saya ikut PON 85 bersama Jawa Timur, tapi tidak juara.”
Selepas Jaka Utama Lampung beliau hijrah ke klub Galatama lain, tepatnya dikota hujan Bogor memperkuat Yanita Utama. Di Yanita persaingan tidak semudah yang dibayangkan, Maura Hally harus berlatih ekstra keras untuk bisa dimainkan secara permanen.
Yanita Utama
“Di Yanita semua pemain bintang, tapi inisiatif pemain sangat tinggi, itu bagian dari menghargai diri sendiri juga bukti dari profesionalisme. Kami punya tekad begitu datang ke klub harus semangat agar bisa terus bermain, jangan setelah masuk klub malah ogah-ogahan. Kalau kita berprestasi khan yang bangga juga kita sendiri, orangtua, keluarga teman-teman dan supporter.”
Medali Juara Galatama bersama Yanita Utama
Tahun pertama di Yanita Utama, klub tersebut belum bisa berbicara di ajang kompetisi Galatama. Baru ditahun berikutnya Yanita Utama mencatat sejarah,
saat menerima medali juara
“Setahun kemudian Yanita Utama membeli pemain seperti Joko Malis, Bambang Nurdiansyah, Herry Kiswanto, Rudy Keltjes, Elly Idris. Kompetisi galatama saat itu dibagi jadi 2 wilayah dan kita sukses jadi juara 83/84 dan 84/85.”
Yanita 83/84
“Dan mewakili Indonesia di kejuaraan ASEAN, di final kita kalah sama Bangkok Bank (Thailand) 2-0. Di awal permainan kami mendapat peluang lewat penalty, sayang Joko Malis gagal. Andai saja itu gol, mungkin hasil akhir berbeda.”
Yanita 84/85
Kembali ke Surabaya
Hijrah dari Yanita Utama, Maura Hally sempat bergabung sebentar dengan Kramayudha Tiga Berlian (Galatama) namun beliau tidak betah setelah melihat kondisi tim yang tidak kondusif. Akhirnya beliau memutuskan kembali ke kota yang menjadi awal karir sepakbolanya, Surabaya. Dan bersiap menorehkan catatan emas bersama klub kebanggaan arek-arek suroboyo,Persebaya.
“Yanita utama ‘goyah’ karena ada problem keluarga pemilik, selanjutnya saya pindah ke Kramayudha Tiga Berlian(KTB), setelah melihat kondisi dalamnya (internal), saya putuskan balik ke Surabaya tahun 1985.”
“Suryanaga, itu klub saya di Surabaya, klub itu dulu gabungan dari pemain-pemain Niac Mitra seperti Dullah Rahim, Syamsul Arifin, Budi Aswin dan Joko Malis.“
suryanaga
“Saya dulu sebelum Jaka Utama bubar saya diminta IM (Indonesia Muda), dan yang paling ngotot meminta saya itu pak Wenas. Namun, akhirnya saya masuk Surabaya ke Suryanaga, dari situ awal dari Persebaya tahun 1985.“
“Tahun 87/88 kita (Persebaya) juara, dari situ diadakan kejuaraan antar klub seluruh Indonesia, Surabaya diwakili Suryanaga sebagai juara kompetisi Persebaya. Di turnamen itu Suryanaga jadi juara antarklub nasional setelah difinal mengalahkan Bina Taruna padahal saat itu Bina Taruna banyak pemain bagus seperti Ponirin Meka.”
Beliau mengenang tahun-tahun awal memperkuat Persebaya (tahun 1985/1986), di tahun itulah pondasi pembentukan tim kuat dibangun, alhasil Persebaya begitu dominan di kancah sepakbola nasional pada akhir dekade 80-an.
“Dulu seleksi (masuk Persebaya) sangat ketat dan ada tahap-tahapnya, Perserikatan lebih ketat dari sekarang tidak sembarang orang bisa masuk Persebaya.”
“Saya masuk Persebaya dan langsung tim senior, waktu itu kita main disini (Surabaya) kita juara grup, kemudian pas main di Semarang kita kalah ‘dikerjai’ bahkan hampir degradasi, pelatihnya (Alm)Pak Kasmuri dan Pak Ahmad.”
Persebaya 1986/1987
“Kita main di Semarang, dikerjai Semarang dan Ujung Pandang. Ketuanya (Persebaya) Pak Sugardjito.”
“Setelah itu ketuanya dipegang Pak Walikota (Poernomo Kasidi) mengadakan seleksi lagi,Rusdy dan Bodro muncul (sebagai pelatih).”
Juara Perserikatan 87/88 dan Sepakbola Gajah
Setelah sempat hampir degradasi pada musim sebelumnya, Persebaya mengalami peningkatan prestasi. Terutama sejak di nakhodai oleh Walikota Surabaya saat itu,Poernomo Kasidi. Skuad Persebaya saat itu dihuni pemain–pemain berkualitas.
“Itu (87/88) kita sedang matang-matangnya, dan semuanya diawali dari komunikasi, didalam dan diluar lapangan, dari diskusi di forum itu tidak ada pemain bintang semua sama”
“Waktu final lawan Persija, skor 1-1 instruksi pelatih cenderung biasa saja dan terkesan aneh seperti,‘ayo kita harus menang atau hati-hati kuasai lini tengah’.”
“Peran pemainlah yang terbesar.”
Medali Runner up 1986/1987 dan Medali Juara 1987/1988
Persebaya 1987/1988 dihuni pemain-pemain yang mengerti benar tentang sepakbola,
“Putu (Yasa) orangnya temperamen tapi tanggung jawab, dia bagus bola atas dan bawah dia juga instruksi teriak-teriak ke pemain lain, belum ada penjaga gawang seperti Putu.”
“Kalau Muharrom (Rusdiana) overlaping bagus, tapi heading dia tidak berani, harus ada covernya tapi overlapingnya timingnya bagus sekali, pemain lain teriak dia tinggal angkat atau kadang tendang sendiri.”
“Kalau di kiri ada Usman Hadi dan Zainal Suripto. Usman Hadi overlaping bagus bertahan juga bagus, Zainal Suripto di Final 1988 menggantikan Usman Hadi karena cedera.”
“Sementara Nuryono (Hariadi) orangnya taktis, bermain sabar, tenang dan safety. Dia bisa mengatur dan tidak emosional.”
“kalau Subangkit dia bagus di bola-bola atas dan jaga lawannya.”
“kalau saya intercept nya dan mengcover posisi yang lowong.”
“sementara Yongki dan Budi yang ngatur, kalau Budi bertahannya jelek tapi kalau sudah dapat bola dia seperti punya mata 10 dan bisa membaca permainan, kalau Syamsul teriak Bud, Budi sudah tahu harus bagaimana.”
“Aries itu coming from behindnya bagus, dia bersaing dengan Seger Sutrisno, tapi Aries lebih bagus, dia sering muncul dari sayap.”
“Kalau Syamsul pintar mencari celah kosong di pertahanan dan bagus di finishing, kita sering mengandalkan counter attack, dari situ sulit di prediksi karena begitu Budi pegang bola, saya, Aries, Syamsul, Taqim, Yongky langsung bergerak.”
“Mustaqim orangnya bagus gocekannya.”
“Sistem ini pondasinya dibangun oleh Rusdy Bahalwan tahun 1986.”
Persebaya 1987/1988
Sukses mengangkat trofi juara nasional, memberikan kesan tersendiri bagi Maura Hally terlebih pada kompetisi tersebut Persebaya menjadi sorotan setelah insiden sepakbola gajah di Surabaya.
“Perasaan juara kita seneng, sebelumnya kita diolok-olok soal sepakbola gajah waktu itu ada momen pemilihan wakil presiden Sudarmono sepakbola gajah ramai.”
“Bahkan pemain Persija juga kecewa setelah kalah di final.” “Piye iki ape oleh bonus malah ga sido, itu ucapan Rahmad Darmawan.”
“Padahal waktu itu mereka (pemain Persija) di janjikan (Suzuki) Jimny satu-satu.”
“Itu (sepakbola gajah) adalah kesepakatan kita,ini dikarenakan kejadian di tahun 1985. Kalau Semarang menang atau draw, kita yang lolos ke Jakarta. Tetapi Semarang mengalah dari Makassar ,golnya penalti akhirnya kita out nomor 9.”
Kompetisi Perserikatan 1987/1988 diwarnai kontroversi, yaitu terkait sepakbola gajah yang dilakukan Persebaya kala menghadapi Persipura di Tambaksari, saat itu Persebaya menyerah dengan skor sangat mencolok 12-0.
“PSIS juara (bertahan) sebelumnya, bahaya kalau kita ikut bawa PSIS, lebih baik ngajak yang lain (lebih lemah dari PSIS, agar mengurangi lawan kuat di Senayan) ini bagian dari taktik.”
“Kita sepakat karena Sepakbola adalah gengsinya orang-orang besar, walikota dll. Kita kasih Persipura, dengan ketentuan Persipura ngasih kita di senayan, karena misi kita menyelamatkan sepakbola Papua, Persipura adalah Brazilnya Indonesia.”
“Waktu itu Ujungpandang main dengan Manokwari, kalau Manokwari menang 6-0. kita 4-0, kita dan PSIS lolos. Bahaya!.”
“Akhirnya kita terserah saja, mengikuti taktik. Yang main pemain cadangan semua.”
“Di Senayan kita kalahkan Persipura 3-1, lucunya kita ketinggalan 1-0 lewat Metu Duaramuri. Metu sempat menyesal merayakan gol tersebut, lalu kita balas dan Persebaya menang.”
Skandal sepakbola gajah saat itu sempat menjadi isu nasional, ada yang bisa memahami tidak sedikit yang mencaci, tim kepengurusan pun sampai ikut memberikan klarifikasi.
“Setelah sepakbola gajah kita jadi sorotan, Pak Agil dipanggil Pak Walikota. Pak Walikota menanyakan kenapa kok sepakbola gajah. Pak Agil bilang itu bagian dari taktik menuju juara,kalau kita gagal juara saya mundur.”
Ada yang berkata, Rivalitas itu hanya 2×45 Menit di Lapangan. Itu sangat tepat untuk menggambarkan suasana rivalitas di era perserikatan,
“Saat Perserikatan ada semacam tradisi welcome party, yaitu mengundang tim tamu ke sebuah jamuan makan malam bersama dengan seluruh jajaran pemain maupun pengurus.”
Welcome party itu dilaksanakan malam sebelum pertandingan semua ngumpul jadi satu, saling bercanda, bernyanyi dalam nuansa keakraban. Tapi besoknya dilapangan sudah beda lagi, kami bermain sebagai lawan setelah pertandingan kami tetap kawan.”
welcome party saat menjamu PSIS. (alm) Ribut Waidi (putih) berjoget dengan Mustaqim
Setelah membawa Persebaya juara tahun 88, Maura Hally sempat bermain untuk Petrokimia Putra (Galatama) namun tidak sampai setahun dan kembali lagi ke Persebaya. Kembali di Persebaya beliau nyaris mengulangi lagi prestasi seperti pada tahun 88 sayang di final 89/90 dikalahkan oleh maung Bandung dengan skor 2-0,
“Waktu kalah dari Persib (89) ada yang bilang kalau kita kena suap, padahal tidak kami bermain sepenuh hati itu soal harga diri kami tidak akan terima (uang suap), waktu itu managernya Pak Dahlan.”
Di penghujung karirnya beliau memutuskan mengakhiri karir di Persebaya, klub yang mengajarkan sepakbola sekaligus membesarkan namanya tepatnya di awal Ligina.
“Terakhir main di Persebaya tahun 1994 main bareng dengan Yongki Kastanya, setelah itu saya pensiun, sebetulnya fisik masih kuat, cuman pelatih lihatnya terlalu negatif ‘wah sudah tua bisa apa maura?’ mereka hanya melihat sekilas saja”
saat bertemu Gubernur Wahono
Karir di Timnas
Tidak hanya klub, beliau juga sempat dipanggil masuk training camp timnas di Jerman, pelatnas di Jerman sebetulnya juga memanggil Muharrom Rusdiana, namun Muharrom Rusdiana batal bergabung
“Sempat juga dipanggil Timnas, ikut pelatnas di Jerman Ricky Yakob, Edy Harto, Hery Kiswanto, Robby Darwis, Patar Tambunan, Putu Yasa itu untuk persiapan piala dunia kita kalah dari Korea Utara dan Jepang.”
“Waktu di Jerman kami sempat sparring dengan Roda JC dari Belanda, disana lapangan untuk pertandingan dan lapangan untuk latihan beda, jadi stadion utama tidak boleh dipakai latihan, lha kita (Indonesia) stadion satu di pake rebutan dan mau dibikin mall lagi.”
Momen menggunakan jersey timnas akhirnya datang juga, tepatnya saat memperkuat Timnas menghadapi untuk kualifikasi Piala Dunia, sayang tim tersebut gagal. Momen saat mengenakan seragam timnas membuat beliau bangga sekaligus teringat masa kecilnya.
“Bangga sekali rasanya bisa membela timnas, pengalaman itu mengingatkan masa kecil saya ketika saya menjahit patch Garuda di kaos saya. Entahlah apa yang saya bayangkan seperti didengar oleh Tuhan dan kemudian dikabulkan.”
Beliau kemudian melanjutkan ceritanya,
“Ketika saya ke Gereja tiba-tiba muncul pertanyaan dibenak, kapan saya bisa main di Galatama, atau kapan saya jadi cover sebuah majalah dan semua itu menjadi kenyataan.”
saat berada di Jerman
Tentang Pembinaan Pemain dan Pemain Sekarang
Pengalaman beliau sebagai pelatih memberikan gambaran bagaimana pembinaan pemain seharusnya dilakukan dan perbedaan pemain dulu dan sekarang,
“Membentuk tim tidak semudah ucapan komentator yang bilang gini gitu, mereka tidak tahu, karena mereka bukan orang bola, kita harus punya semangat untuk memberikan yang terbaik dan menikmati permainan sepakbola itu sendiri, kalau kita main bagus, semangat penonton pun juga akan senang. Jangan main ogah-ogahan, ini yang tidak dipahami pemain jaman sekarang”
“Disitu pentingya pembinaan, karena dari sana diajarkan bagaimana bermain sepakbola, menjiwai sepakbola”
“Sama seperti yang lain saya juga menambah porsi latihan sendiri, arti profesional adalah menghargai diri sendiri, waktu di Yanita saya bermain dengan pemain-pemain hebat, Mundari Karya, Elly Idris, Arif Hidayat mereka pemain hebat persaingan sangat ketat tapi saya harus bisa”
“Ada banyak instruksi kamu harus begini begitu, saya tidak pernah membantah saya oke saja, Wiel Coerver sempat bilang you Brazil karena main saya terinspirasi oleh Brazil”
Merujuk pernyataan legenda Belanda,Johan Cruyff. “Football is simple. But the hardest thing is to play football in a simple way.”
“sepakbola itu seni, improvisasi dilapangan itu yang dilihat orang, jadi jangan main asal-asalan, penonton lihat enak, pertandingan aman tidak ada kerusuhan, era saya dulu, saya tidak ingat ada kerusuhan”
Komunikasi merupakan hal penting dalam sepakbola, kultur komunikasi di Persebaya sebetulnya sudah ada sejak era perserikatan. Komunikasi tersebutlah yang mampu membentuk chemistry diantara pemain sehingga dapat bermain sebagai satu kesatuan,
“Bagi saya kekompakan skuad saat itu belum tertandingi hingga sekarang, karena sebetulnya kuncinya di pemain sendiri, pelatih tinggal mengarahkan saja, kebanyakan semuanya dari pemain, komunikasi berjalan lancar. Syamsul sering bilang Rom, bolane sakmene yo, begitu bola lepas Budi sudah paham, langsung masuk dan finishing saja.”
“kami sering ngumpul, tapi tidak di cafe atau mall, karena dulu tidak sebanyak sekarang, biasanya kami ngumpul dan ngobrol-ngobrol di mess saja”
“Kekompakan terbentuk karena kita semua tinggal di mess, kadang kita juga nyangkruk dan ngobrol sepakbola, saking kompaknya sampai kita jarang membaca permainan lawan, yang ada lawan yang mati-matian mencoba membaca kita aneh khan? kita selalu bermain dengan cara kita sendiri, dengan pola sendiri”
“Misalnya Sartono Anwar (pelatih PSIS 86), waktu masuk final dia itu bingung, setiap final turnamen kok selalu kita (Persebaya), begitu juga dengan Persib, saya dapat bocoran dari teman kalau pelatih Persib memberi instruksi kalau lawan Persebaya wing back jangan maju, tim harus sabar tapi juga masih kalah dari Persebaya.”
“waktu itu kita tidak egois, tidak ada pemain bintang semua sama, sampai Sartono bilang ‘piye iki carane ngalahno Persebaya’ itu semua terjadi karena kita kompak.”
“jika sudah bisa menjiwai sepakbola main 2×45 menit jadi tidak terasa, karena senang dulu sesama pemain sering debat untuk cari solusi, misalnya kita tahu Budi kalau bawa bola bagus, tapi bertahan tidak, dari debat itu kita jadi tahu kalau bertahan urusan yang lain, bola berhasil direbut langsung kasih ke Budi.”
“juga soal Muharrom, kalau dia naik harus ada yang mengisi posisinya, diskusi terus berkembang, pelatih hanya diam saja karena tim sudah menyatu, kami sudah satu hati.”
bersama Rinus Michels
Media dan Rivalitas
Kencangnya pemberitaan media tentang sepakbola akhir-akhir ini juga mendapat perhatian tersendiri dari Maura Helly. Bagi beliau pemberitaan media akhir-akhir ini justru lebih banyak memberikan dampak negatif terutama terkait dengan rivalitas antar suporter.
“dulu pemberitaan media juga besar-besaran tapi kita biasa saja, media memang begitu kalau mau kita kencing saja bisa ditulis sama wartawan, contohnya Budi Johanis, dia sering jadi pemberitaan tapi Budi dan yang lain biasa saja, karena di otak kita bukan popularitas tapi bagaimana Persebaya bisa juara”
“kadang pemberitaan media yang berlebihan itu jadi bahan guyonan ketika diluar lapangan, misalnya media menulis Budi main bagus padahal sebetulnya tidak, pemain-pemain lain menggoda opo Bud main koyok taek ngono sambil tertawa sekaligus interospeksi agar tidak terlalu besar kepala”
“Atau Syamsul yang ditulis koran kemenangan kita dirampok kita menggodanya ‘jancok kerampokan rek, opo Syul heading ngono tok kok kerampokan, coba koen nge golno ’, tapi kalau masuk ya ‘kita ga sido ke rampok rek, semua sambil tertawa tidak ada mangkel atau nggerundel dibelakang”
“juga dengan subangkit, taek koen iku njogomu (defend/marking) iku lho, akhirnya dari situ muncul diskusi dan keluar solusi”
Kamipun bertanya kepada beliau apakah masih intens mengikuti perkembangan sepakbola saat ini terlebih Persebaya Surabaya
“saya tidak terlalu mengikuti Persebaya sekarang, paling kadang-kadang ke lapangan pas eranya Jacksen jadi pemain setelah itu tidak, saya senang dengan cara mainnya waktu itu”
“kita sempat disebut Brazilnya asia, itu realita bukan polesan media. Maaf ya kadang saya sendiri ikut jengkel kalau baca koran wartawan sekarang itu ga ngerti bola asal nulis ae, baru gocek gini disebut bintang tapi mereka bukan orang bola mereka tidak mengerti dan mereka bisa menaikkan sekaligus menjatuhkan”
“misalnya Andik, silakan ekspose, Andik memang bagus tapi jangan berlebihan, karena mereka harusnya ikut menjaga pemain bintangnya jangan ngejar berita aja”
Beliau juga menyoroti pemberitaan media yang timpang ketika memberitakan bonek, pemberitaan tersebut yang justru memperkuat stigma negatif pada diri bonek, sehingga mengurangi obyektifitas dalam memahami permasalahan suporter di Indonesia.
“jaman dulu suporter benar-benar mendukung, saya tidak percaya dengan media yang menjelek-jelekan bonek katanya mobil dipukul, mana buktinya tujukin dong? Saya sampek sakit mendengarnya, harusnya kita telusuri kenapa bonek di stigma seperti itu, kalau pemain main bagus, skill bagus, semangat meskipun kalah suporter tidak akan marah, yang harus dibenahi pertama ya pemainnya ya timnya”
“media bilang bonek nyerang mobil, saya pernah nelpon media yang menjelek-jelekan bonek, katanya diwaru bonek bikin rusuh, anda salah mana buktinya di sini kosong ndak ada bonek. Mereka justru jadi provokator dan menjelek-jelekan bonek, ini tidak bener”
Pemain keturunan Flores ini menyampaikan arti penting suporter bagi tim sepakbola dan pandangan beliau tentang rivalitas sepakbola di Indonesia
“sepakbola tanpa suporter semuanya hambar, sepakbola justru bisa mempersatukan bangsa, sakit mendengarnya ketika orang tidak mengerti sepakbola tapi ngomong sepakbola, mereka tidak menjiwai sepakbola (olahraga) hakikatnya adalah sportifitas”
“itu (sportifitas) perlu ditanamkan sepakbola itu skil bukan otot, kalau ada pemain yang berkelahi, ya mereka berdua suruh keluar dan berkelahi sendiri, hal itu akhirnya malah tidak mendidik bonek larinya ke permusuhan”
“Itu (rivalitas) yang membuat opini, statement seperti Arema jancok, itu gak perlu dan media gak boleh mendramatisir akhirnya bonek ikut terbawa rivalitas tidak jelas. Kalau membenahi rivalitas pertama harus dari klub, pemain harus bermain semangat jangan klemar-klemer njaluk simpati suporter. Pertandingan juga jangan direkayasa, sekarang aja tim tanpa mental juara bisa juara.”
“mereka (orang tua) seharusnya jangan membiarkan anak kecil pakai atribut dengan tulisan jelek (Arema Jancok), harusnya mereka mengajarkan anaknya sepakbola yang bener itu seperti apa, bukan ngajarin misuh tok ae.”
bersama Persebaya Legend
Karir Pelatih
Sepakbola memang sudah mendarah daging, meskipun saat ini aktif sebagai pegawai PDAM kota Surabaya, beliau tidak pernah benar-benar meninggalkan sepakbola. Maura Helly juga aktif sebagai pelatih, berikut penuturannya
“saya pernah membawa POPNAS Jawa Timur juara nasional salah satu pemainnya Charis Yulianto, kalau pemainnya memang bagus ya masuk kalau jelek ya tidak, pernah saya mau disogok agar mau memasukkan pemain tertentu tapi saya tolak kalau pemainnya bagus ga perlu duit justru akan saya referensikan naik.”
“kemudian saya pegang tim untuk turnamen Lion Cup di Singapura, kebetulan jadi juara, salah satu pemainnya Uston Nawawi masih 15 tahun, pesertanya dari beberapa negara, Malaysia 2 tim, Filipina, Singapura pemain terbaiknya dari Indonesia”
Medali lion cup
“sepakbola itu proses, bukan sekedar mengumpulkan orang yang bisa nendang bola, semua itu proses lihat saja Spanyol. Seorang striker harus berpikir apa yang akan dilakukan bek jika saya begini, begitupun sebaliknya seorang bek harus berpikir bagaimana jika triker bergerak. Harus bisa saling membaca permainan lawan”
“orang sekarang selalu melihat hasil akhir, bukan proses ‘enak yo dadi Messi’, tapi ga pernah mencoba belajar bagaimana Messi bisa seperti itu, njaluke enak tok tapi ga gelem susah”
“kalau memantau pemain yang saya lihat pertama adalah skill, kedua baru mental. Mental itu mental diluar lapangan itu menunjukkan kualitas pemain”
“Mat Halil dulu waktu dulu saya lihat pertama kali asline pemain depan, lalu dimainkan jadi pemain belakang dan sekarang balik lagi main didepan”
“bisa (membentuk tim kuat dengan 11 pemain lokal Surabaya), tergantung kita saja cuman karena sekarang ada aturan pemain asing sayangnya pemain asing itu sering di salah gunakan oleh agen-agen pemain, agen-agen ini siapa? Orang-orang fiktif yang tidak jelas”
bersama skuad lion cup
Politik dan Kisruh Sepakbola
Kisruh sepakbola nasional maupun dualisme Persebaya membuat prihatin semua pihak, termasuk mantan pemain, sebagai salah satu pemain yang ikut dibesarkan Persebaya beliau merasa prihatin.
“itu (perpecahan Persebaya) dampak dari atas (PSSI) akhirnya turun kebawah, itu yang ada dualisme-dualisme akhirnya sepakbola yang jadi korban. Harusnya kita fokus ke pemain muda, anak kecil, infra struktur, ojok ngurusin politik tok ae. Ga usah janji-janji ga jelas, ape piala dunia lah ape yang lain, benahi dulu pembinaan, kalau begini terus jangankan 20 tahun sampek kiamatpun kalau sepakbola masih kisruh seperti ini kita sulit ke piala dunia”
“sakit, rasanya sakit sekali melihat perpecahan Persebaya dan PSSI, berapa juta itu masyarakat yang dibohongi dengan kekisruhan itu, orang-orang itu berbicara bohong kepada masyarakat padahal mereka bukan orang bola”
Selain itu beliau juga prihatin melihat aksi kekerasan yang masih terjadi dilapangan, pemain suporter dan pengurus harusnya bisa memberi contoh yang benar
“pemain/pelatih ikut memukuli wasit atau sikap mogok, cengeng, dan cari-cari simpati penonton itu dampak dari sistem yang ga bener, tapi itu (sistem yang ga benar) tidak boleh dijadikan pembenar untuk melakukan hal-hal tersebut (memukuli wasit, mogok, cengeng, cari simpati penonton)”
“Lapangan (karanggayam, tambaksari) yang ada sekarang tidak layak. Semua tergantung pengelolanya mau serius ga ?”
“tapi ya jangan menggunakan alasan lapangan jelek untuk menutupi skill yang memang jelek, kalau lapangan bagus tapi main masih jelek ya itu menunjukkan skill, dulu lapangan tidak sebagus sekarang tapi skill pemain cukup mumpuni”
“kalau dikritik kemudian dimusuhi ‘koen iku isone ngomong tok’ padahal yang dikritik tidak mau interospeksi dan berubah. Pemain sekarang bukan lagi artis di lapangan tapi lebih sering jadi artis diluar (lapangan)”
bersama jersey pertama dan medali2 kemenangan
Serba-serbi Maura Hally
Ada beberapa kisah menarik diluar teknis sepakbola yang menarik ketika dipelajari antara lain soal nomor punggung
“nomor pungggung saya 10, sebetulnya saya lebih suka 9, sembilan khan ‘qiu’ (permainan kartu) tapi sembilan sudah ada yang memakai, saya mengalah dengan pemain yang lebih muda biar dia semangat”
Tidak seperti Syamsul Arifin atau Muharrom Rusdiana yang memiliki ritual khusus sebelum berlaga di lapangan sepakbola, Maura Helly justru punya kebiasaan aneh sebelum masuk kelapangan,
“saya tidak punya ritual khusus sebelum bertanding, kadang saya juga sering tegang sebelum pertandingan, perut mual dll, tapi semua itu hilang ketika berada dilapangan”
“pemain lokal idola saya Herry Kiswanto, dulu main bareng kita juga masih sering kontak. Kalau pemain luarnegeri BOJAN pemain Bayern Muenchen ada juga Bernd Schuster, atau Giancarlo Antognoni juara dunia Italia 1982”
Layaknya pemain legend diklub-klub besar eropa yang tetap bekerja bagi klub kebanggaannya, Maura Helly menjabarkan kurangnya kepedulian klub (pengurus klub) terhadap mantan pemain Persebaya
“tidak (soal dimintai saran oleh kepengurusan berikutnya) itu justru kita yang inisiatif tapi orang-orang itu tidak mau menerima, akhirnya kita ikut cuek juga”
“pernah diundang nonton tapi anak-anak (skuad 88) tidak mau karena melihat orang-orang itu kesannya sok, dulu setelah latihan kita ngobrol dan diskusi kalau pemain sekarang ya ke mall, itu tidak apa-apa karena jamannya sudah beda, tapi juga harus membuktikan diri, you dibayar ya harus profesional dong, ibarat kerja kalau dibayar harus komitmen, kalau dulu kita digaji seperti sekarang ya beda lagi”
“sekarang itu aneh pemain dipermainkan bola, seharusnya kita yang memainkan bola bukan sebaliknya, basic sepakbola saja ga punya passing, control dll”
Makasar menjadi tempat angker bagi Budi Johanis, Maura Helly, Yongky kastanya dan juga Muharrom Rusdiana, beliau menceritakan bagaimana teror penonton Makasar
“Mattoangin, itu stadion paling angker, bahkan latihan pun susah, karena penonton begitu berjubel melungker seperti obat nyamuk, kalu disenggol sedikit ‘apa kamu’ itu teriak mereka. Tapi anak-anak tidak ada yang nervous atau tertekan mereka nyantai aja”
“psy war penonton makasar memang beda, kata-kata bunuh, bunuh sudah wajar, tapi kami tidak terpengaruh justru semakin termotivasi untuk mengalahkan mereka. Ketika pertandingan away saya lebih memilih sekamar dengan Budi atau Yongky, karena sama sama beroperasi ditengah agar mudah komunikasinya.“
Beliau juga menuturkan kisah lucu ketika mengerjai Bang Muh (moh barmen), skuad Persebaya saat itu memang sering bercanda dan hal sederhana itu sukses membangun chemistry diantara pemain
“sesama pemain kami sering bercanda misalnya ketika ada yang baca koran pagi-pagi ada yang iseng membakar korannya dari bawah ‘oe jancok koen iku’, tapi tidak ada marah-marahan. di Hotel Hasta kami pernah mengerjai Bang Muh (barmen), kami menggantungkan kardus bekas diatas pintu begitu Bang Muh buka pintu yang diatas pun jatuh, anak-anak langsung semburat sambil tertawa, meskipun bercanda tapi kami tetap menghormati Bang Muh”
“Bang Muh orangnya pandai memotivasi, kalau ada pemain cedera beliau cuman bilang ‘iki ga opo-opo iki’ saya pun langsung main lagi”
sumber :

I GUSTI PUTU YASA, THE LAST MAN STANDING

“The goalkeeper is the lone eagle, the man of mystery, the last defender. Less the keeper of a goal than the keeper of a dream.” – Vladimir Nabokov
Demikian tutur sang novelis Amerika kelahiran Rusia, Vladimir Vladimirovich Nabokov. Belum pernah ada dalam sejarah sepakbola sampai saat ini tercatat nama seorang Kiper yang menjadi pemain terbaik dunia, Belum pernah.
Bahkan Emrah Serbes, penulis terkenal Turki, menuliskan “While other players chase the ball, goalkeeper is the only one that stands against it.” .Sendirian mempertahankan gawang, sendirian memikul beban di setiap pertandingan. Menjadi Pahlawan atau Pecundang, tinggal tunggu saja.
Kiper adalah orang yang disebut pertama dalam susunan pemain tetapi justru menjadi orang terakhir menjaga sebuah tim dari kemasukan gol. Kiper terkadang menjadi sebagai pahlawan pertandingan apabila harus berakhir lewat drama adu penalti. Tapi seringkali juga disebut sebagai penyebab kekalahan sebuah tim apabila banyak mengalami kebobolan.
Kiper menjadi representasi atas baik maupun buruknya organisasi pertahanan sebuah tim sepak bola.
Siapa yang tidak kenal I Gusti Putu Yasa? Kiper legendaris Persebaya dan Timnas.Dan,inilah kisahnya:
Karir
“Saya dari kampung, memang sudah suka bermain bola. Saya dari Denpasar, saya lulusan STM. Dari SD saya suka main bola. Cuma tidak langsung posisi penjaga gawang. Sebenarnya saya menjadi kiper itu dadakan.”
“Waktu kelas 3 STM, ada Porseni (dulu Popsi). Main bola tidak ada penjaga gawang, karena sudah lulus. Karena dulu saya punya basic main basket, jadi saya jadi penjaga gawang dadakan. Dianggap bagus, sampai masuk final lawan SGO (dulu SMOA). Salah satunya teman saya satu sekolah, dia adik kelas saya, Made Kawiarda. Kakak, Made Pasek Wijaya. Saya main satu sekolah sama dia. Klub pertama saya, Lingers, Internal Perseden Denpasar.”
“Setelah tamat STM, saya kerja di Jakarta. Karena basic saya mesin, saya kerja di Astra. Hampir 3 tahun di Jakarta. Disana saya masih main bola, tetap jalan. Masuk Jakarta, juga sudah jadi kiper. Klub saya, Volker, internal Persitara Jakarta Utara. Saya juga dipanggil untuk bermain di Persitara, waktu itu divisi 2.”
“Umur 21 tahun saya ke Surabaya, saya diterima di Direktorat Jendral Bea dan Cukai.”
“Ternyata di kantor saya yang baru, ada klub sepakbola. Kebetulan teman-teman dari Jakarta banyak suka bermain bola. Kita bikin klub dulu di kantor.”
“Dulu, ada semacam turnamen antar kantor. Ada dari Pemda (Bodro, Rusdi), ada dari Pelabuhan. Namanya Aneka Gas Cup. Kita mengikuti itu dan juara. ”
”Selesai turnamen, saya masuk Sasana Bhakti (Sakti), Machrus Afif itu adik kelas saya di Sakti. Saya tidak tahu Sakti itu, yang saya tahu lihat di Koran. Sakti ternyata klub paling lemah di kompetisi internal Persebaya, strategi saya pas. Banyak teman-teman saya masuk ke IM, Suryanaga. ”
”Salah satu yang merekomendasikan saya masuk Persebaya, Budi Johannis. Saya berkompetisi dengan dia, Budi sempat bermain di tim nasional. Saya tahu nama, tidak tahu orang. ”
“September 1983 saya ke Surabaya, Februari 1984 saya sudah masuk tim Persebaya.”
“Sekitar 1983-1984, ketika ada pelatih, Mujiadi namanya. Dulu Warna Agung, ditunjuk sebagai pelatih Persebaya. Persebaya, saat itu punya Sasono Handito dan M Ridwan. Harus punya 3 penjaga gawang, saya salah satu yang direkomendasikan Budi (Johannis). Saya tidak kenal Budi, Budi cuma lihat saya bermain. Karena dua kali, dia kena penalti. Dua kali kena sama saya. ”
”Saya direkomendasi, saya ikut saja. Pertama kali dipanggil, pertama kali saya lolos. (Sasono) Handito orangnya fair, sportivitas tinggi. Mungkin karena pendidikan mempengaruhi. ”
“Dia bilang ke saya, ‘Kayaknya saya kalah bersaing dengan anda. Walaupun anda pendatang baru. Supaya saya tetap eksis, saya akan pergi pulang kampung ke Gresik’. Handito mengakui kemampuan saya. Saya datang, dia pergi ke Persegres.”
“Di Persebaya, tinggal saya, M Ridwan dan Usnadi.”
“Dari rentang waktu 1984-1990. Baik di Persebaya maupun PSSI, Saya tidak pernah tersingkir. Di Persebaya tidak pernah dicoret, demikian di PSSI. Saya sendiri yang akhirnya mengundurkan diri dari PSSI.”
Tentang perasaan final perserikatan di Senayan
“Bagi saya pribadi, biasa, ketika masuk final. Saya pernah nonton divisi utama melalui televisi, antara 1980-1981, antara Persiraja Banda Aceh melawan Persipura Jayapura. Bayangan saya main bola di Senayan kayak apa? Itu saja.”
“Kedua, saya ingat Abdul Kadir. Arab Bali dia. Sama saya suka ngomong Bali, kebetulan sewaktu pra piala dunia, dia melatih saya. Saya ingat dia, pernah nonton waktu SD di Bali. Seneng saja, Bangga saja. Waktu itu barangkali lebih ke Surabaya daripada Bali.”
“Gembira ya gembira, tapi khan oh ini rasanya juara. Cuma gini, naik panggung dapat medali terima piala. Gitu saja”
“Senengnya barangkali, orang deket kita misalnya pacar saya (sekarang jadi istri saya). Barangkali calon mertua saya, saudara saya. Itu justru mereka yang senang berlebihan, bukan kita. Karena selesai, besok latihan lagi.”
“Apalagi saya, selesai Persebaya harus segera ke timnas, selesai sana (timnas) balik Persebaya. Gak ada istirahat, 7 tahun itu begitu terus. Untung dapat fasilitas dispensasi (kantor), kalau enggak gak mungkin bisa.”
Tentang sepakbola “Gajah”
“Sebelum itu ada peristiwa sepakbola “gajah” juga, dilakukan oleh PSIS Semarang.”
“Saya baru masuk Persebaya. Putaran I di Ujung Pandang. Selesai putaran I, putaran II di Semarang. Pertandingan PSIS Semarang lawan PSM Makasar. PSIS draw, Persebaya masuk ke Senayan, 12 besar. Ternyata PSIS tidak ajak kita, bukan draw, PSIS malah kalah 0-1 dari PSM. Dimasukkan sendiri sama Budiawan Hendratno. Proses gol telak sekali, karena kita nonton semua. Semua kecewa terutama Budi, dia kaptennya.
”Ada momen kita yang menentukan di Surabaya. Lawan Persipura, saya tidak main. Semua pemain inti tidak main, semua pemain cadangan. Edi Mujiarto kipernya, Usnadi saja tidak dipasang apalagi saya. ”
”Bukan karena sakit hati, lebih ke strategi. itu tercermin ketika kira rapat technical meeting untuk menentukan lawan Persipura. Budi Johannis ngomong. Manager saat itu, Agil , itu motivator seorang orator. Yang jelas kita dikerjai, orang Surabaya karakternya, ngerjain lebih sakit lagi. ”
”Sewaktu Persebaya lawan Persipura, di Ujung Pandang juga ada Perseman Manokwari melawan PSM. Kita tidak mau ajak semua itu termasuk PSIS, kita lebih memilih Persipura. Disana hasil akhir 2-0 untuk PSM. Daripada nanti kelewat , PSIS masuk. Kita main, 0-12 untuk Persipura. PSIS marah, anak-anak Surabaya diancam di Jakarta.”
”Pressure dari media, dari masyarakat umum tidak ada apa-apanya. Karakter Surabayanya lebih kuat dari Pressure-pressure tadi, pressure tidak kita pikirkan walau banyak ancaman-ancaman seperti pemain Persebaya keluar hotel, tinggal nama.”
”Di Hotel Indonesia, kita dikumpulkan. Pejabat-pejabat nasional memberikan motivasi seperti Sudarmono, Try Sutrino, Ruslan Abdul Gani. Bahkan Srimulat sekalipun memberi dukungan. Pejabat-pejabat tersebut memberikan wejangan, ‘sudah gak usah takut, konsentrasi saja dengan permainan’. Disitupun kita memilih Persija, sebagai lawan di Final. Pokoknya main draw, supaya masuk final berdua. ”
“Kenapa memilih Persija? Karena Persija selalu kalah sama kita.”
Tentang pertandingan Persib vs Persebaya 3-3
Perlu digaris bawahi, pertandingan yang berlangsung Senin, 21 Maret 1988. Adalah pertandingan terbaik selama kompetisi perserikatan 1987/1988.
“Gol pertama, saya ambil bola, kemajuan trus bola itu lepas. Sehingga jadi gol, karena kena lampu, silau dikit”
Tentang gol 3 sentuhan
”Golnya cepat sekali itu. Jaman saya kan sering, Syamsul Mustaqim tiga sentuhan. Gol dari saya itu, tendangan saya jauh. Gol seperti ini sering juga di Gelora (10 Nopember). ”
”Syamsul sering di pinggir kanan atau kiri. Jadi, saya kasih bola arah depan dia. Mustaqim masuk dari tengah. Di Heading sama Syamsul, diselesaikan dengan shooting Mustaqim. Gol seperti itu sering, jarang kita main dari bawah.”
”Kita memanfaatkan keunggulan masing-masing. Saya punya tendangan jauh, akurasinya bagus. Tinggal akurat atau tidak, itu saja. Syamsul heading gak ada ngalahin pada waktu itu.”
”Senayan 3 kali, lawan PSMS dan Persiba. Mereka gak mau bola dari bawah, begitu saya dapat bola. Semua pada maju ke depan. ”
Tentang pertandingan Final 1986/1987
Final dilangsungkan hari Rabu, 11 Maret 1987. Hasil akhir PSIS vs Persebaya 1-0.
”Ketika final 1986 kalah 1-0, golnya itu kontroversial. Itu bola, saya dapat. Tidak perlu tangan dua, tangan satu saja dapat. Memang saya biarkan, karena ada peluit (wasit).”
”Ketika bola ditendang dari sebelah kanan, semua pemain kita diam termasuk bek. Karena ada peluit. Ribut Waidi, dia tidak niat itu. Dia hanya ketimpa bola. Bola ke arah gawang. Disamping saya, saya diamkan karena ada peluit. Jaja Mujahidin, nama wasitnya.”
”Ternyata itu disahkan sebagai gol. Alasannya itu peluit penonton, padahal dia sendiri yang tiup. Sebagai pemain di lapangan, di Senayan. Suara peluit penonton tidak terdengar. Seperti dikerjain (wasit)."

Tentang pertandingan Final 1987/1988
“Tahun 87/88 Persebaya sempat menerapkan sepakbola ilmu pengetahuan, saat itu pemberitaannya ramai sekali dikoran, kebetulan waktu tes iq saya yang nilainya tertinggi.”

“Kita leading dulu 3-1, saya kena penalti satu tapi tidak masuk. Yang menendang Patar (Tambunan). Saya kenal dia, bola lewat gawang. Mereka sebenarnya tidak berani ambil (penalti).”
“Saat di Senayan kami bahkan tidak tahu kalau keluarga kami (anak istri) datang mendukung ke senayan, itu memang sengaja diatur panitia agar tidak mengganggu konsentrasi bertanding kami. Kami juistru kaget dan baru tahu kalau anak istri datang ke senayan setelah pertandingan selesai”.
Tentang pertandingan Final 1989/1990.
Ekspektasi sebagai juara bertahan di dua tahun sebelumnya membuat publik menjagokan Persebaya kembali merebut gelar juara. Kedalaman skuad sudah tidak diragukan, tim terbaik masih tersisa. Namun, semua berubah ketika kalah.
“Ya namanya bola bundar. Kalau saya lihat down-nya mungkin karena gol bunuh diri itu. Bangkit (Subangkit) merasa dia yang salah, tapi saya tidak akan pernah menyalahkan dia.”
“Secara teknis, siapapun penjaga gawangnya. Bangkit bawa bola dari sini (sisi kiri gawang), dia menang posisi dikejar sama lawan.dia menang posisi, dia mau back pass ke saya. Deket khan, back pass.”
“Secara teknis, bangkit back pass sebelah kiri saya. Harusnya sebelah kiri saya. Bangkit itu kalau tendang suka ngefek, suka pakai kaki dalam. Mau kiri mau kanan, pakai kura-kura.”
“Nah itu, bola pasti akan dibawa ke kirinya dia. Kalaupun saya tidak dapat, bolanya out. Logika seperti itu, saya sendiri juga kaget. Kenapa bangkit tendang bolanya itu kayak lawan, pojok sekali jauh sekali di kanan. Saya pikir, kurang ajar bangkit dalam hati saya. Ya sudah gol.”

“Di ruang ganti pun kita yakin juga, masih keyakinan tinggi.”
“Pulang dari sana, semua menyerang. Saya dan Bangkit biasa saja, kecuali bola itu kotak, baru kita itu susah. Bola itu bulat.”
“Yang saya syukuri bukan apa-apa, bukan soal juara atau tidak. Bukan. Analisis orang-orang yang merasa dirinya ngerti bola (ketika itu) tidak ada yang menganalisis bahwa pemai kena suap.”
“Saya dan bangkit kumpul 5-7 tahun. Sudah tahu bola kemana, tapi khan tidak 100% ke situ. Suatu saat pasti akan salah, tidak sesuai keinginan. Manusiawi itu dan saya tahu persis.”

Tentang indikasi suap
“Ketika ada tim saya, bermain aneh. Saya duluan mundur dan itu pernah saya lakukan 2 kali.”
“Waktu dipinjam Bina Taruna (Jakarta) untuk Merlion Cup, saya dipinjam dari timnas. Saya lihat teman tidak benar nih mainnya.”
“Saya bilang ke pelatih, waktu itu Ipong Silalahi, ‘Sorry saya berhenti, ganti saya babak kedua’.”
“Saat turnamen di Singapura itu pemain bon-bonannya adalah Saya, Fachri Husaini, Anshary Rangkuti dan Adityo Rahmadi. Sebelumnya saya sudah punya feeling tidak bagus.”
“Babak pertama saya kebobolan 2 gol, gol pertama saya merasa ada yang tidak enak, bola yang harusnya diambil tapi tidak diambil.”
“Kembalikan saya ke PSSI, saya disini tidak membawa nama Persebaya tapi nama Nasional. Saya marah-marah dan menolak main dan feeling saya terbukti benar kami kalah 8-1.”

“Persebaya juga begitu, cuma bukan di kompetisi divisi utama. Mercu Buana Cup di Teladan, Medan. Turnamen tidak penting bagi mereka, bagi saya tetap penting. Ini anak-anak main gak bener, saya minta ganti saya gak mau. Kenapa saya begitu? Karena saya menyandang predikat nasional, saya gak mau hancur nama saya gara-gara itu.”
“Saya langsung buka kaos, masuk ruang ganti dan saya diam tidak mau keluar. Biar pelatihnya ngotot saya tidak mau, ganti. Saya tidak sreg cara anda main, ya saya sudahi.”
“Saya penjaga gawang, jadi saya tahu di depan bagaimana. Cara main saya tahu. Saya bisa melihat, saya sama pelatih bahkan pemain lawan. Pemain lain tidak bisa melihat temannya 10 orang, paling 2-3 orang.”
Tentang pemain idola
“Kalau luar negeri, Kevin Keegan. Permainannya bagus.”
“Gayanya, penampilannya ya mungkin gantengnya, saya suka Didik Darmadi. Satu, saya nonton dia. Dua, saya pernah main sama dia, bertemu langsung. Dia bek kanan/ kiri. Kakaknya Adityo Darmadi.”
“Justru saya tidak punya idola kiper. Karena kiper bagi saya, itu masalah posisi saja.”

Tentang ritual sebelum bermain
Kiper selalu identik dengan hal-hal ‘aneh’. Fabien Barthez, kiper Perancis kala menjuarai Piala Dunia 1998. Sebelum bermain, kepala plontosnya selalu dicium oleh Laurent Blanc. Hanya untuk sekedar membawa keberuntungan. Bagaimana dengan Putu Yasa?
“Gak ada itu ritual-ritual. Saya main saja, gak terlalu memikirkan itu. Khan sebelum main, sudah berdoa. Saya tidak ada keyakinan seperti itu.”
“Paling yang saya pikirkan itu, kualitas lapangan itu khan kadang-kadang beda. Gawangnya terutama tingginya bisa beda.”
“Lapangan di Indonesia, di bawah mistar biasanya cembung.”

Sewaktu Persebaya kalah 1-0 dari PSM, gol oleh Dullah Rahim. Putu Yasa mengakui gol tersebut adalah kesalahannya.
“Ini khan olahraga, sportif. Saya punya prinsip begini, yang namanya gol ke gawang. Penjaga gawang siapa? Dia yang salah. Tugasnya jaga gawang supaya tidak gol. Kalaupun teman bikin kesalahan didepan sehingga menjadi gol. Tetap saya mengakui saya salah.”
“Supaya, satu, masalah selesai di dalam tim. Kalau sudah saling menunjuk, bakalan rusak. Dan, saya tidak akan pernah membuat alasan saya tidak fit, saya tidak pernah. Saya jarang cedera, gak pernah keluar (pertandingan) diganti gara-gara cedera. Karena sebelum pertandingan khan ditanya, ada line up. Sudah siap, berarti segalanya teknis,fisik, mental siap juga.”
“Hasil pertandingan itu tiga; menang, kalah dan draw. Ketika kita kalah untuk menyelesaikan masalah, ya sudah. Toh besok ada pertandingan lagi, kalah bukan kiamat.”
Bondo dewe
“Persebaya tidak pernah membelikan baju kiper untuk saya pakai. Saya beli sendiri. Persebaya ada tapi tidak cocok dengan badan saya. Bahannya aneh-aneh, bukan adidas.”
“Saya beli di pasar baru Jakarta, karena lebih banyak pilihan.”
“Kemampuan tim segitu, lagipula saya nyaman pakai baju saya sendiri. Kalau tidak nyaman, tidak pede kita.”
“Maka identik dengan kuning, karena saya punya 2.”
“Sarung tangan yang enak kita pakai. Sarung tangan, sepatu semua beli sendiri. Bagi saya itu nyaman.”
“Saya pakai adidas world cup, puma beli di Malaysia.”

Bondo dewe
“Persebaya tidak pernah membelikan baju kiper untuk saya pakai. Saya beli sendiri. Persebaya ada tapi tidak cocok dengan badan saya. Bahannya aneh-aneh, bukan adidas.”
“Saya beli di pasar baru Jakarta, karena lebih banyak pilihan.”
“Kemampuan tim segitu, lagipula saya nyaman pakai baju saya sendiri. Kalau tidak nyaman, tidak pede kita.”
“Maka identik dengan kuning, karena saya punya 2.”
“Sarung tangan yang enak kita pakai. Sarung tangan, sepatu semua beli sendiri. Bagi saya itu nyaman.”
“Saya pakai adidas world cup, puma beli di Malaysia.”
Kelebihan dan kekurangan seorang Putu Yasa
“Budi Johannis selalu bilang, ‘Kalau ada Putu,Aman’. Kelemahan gampang diprovokasi oleh pemain musuh terutama di kandang lawan.”
“Kalau dia tidak kena (provokasi), sudahlah tenang kita main. Maka dari itu selesai main, Budi selalu beritahu saya.”
“Budi bilang ke saya,‘awakmu jangan terprovokasi. Terutama pemain-pemain Ujung Pandang.”
“Bentuk provokasi seperti kuping di sentil. Tendangan sudut kita konsentrasi di bola, “barang” kita dipukul.”
“Alimudin Usman, pemain nakal. Kecil orangnya.”
“Akhirnya di Surabaya, tidak berani dekat saya. Pernah dia bawa bola lolos, saya sengaja biarkan. Saya yakin tidak masuk, saya tunggu memang.”
“Kalau saya kejar, dia pasti lari. Dia menghindar. Benar, dia semangat mengejar bola, baru saya ambil. Saya sliding.”
“Dia loncat keluar lapangan, menabrak papan reklame sampai jebol. Dia bangun dan bilang,’Putu, jangan keras-keras putu. Kita saudara.”
“Kita bisa akur kalau kita sama-sama PSSI.”

Tentang sepakbola
“Pemain bola, sejarah dari dulu sampai sekarang (jaman saya) tidak ada pemian bola orang kaya,ngak ada. Pasti orang miskin,latar belakang ekonomi pasti orang miskin. Cuma karena di bola bisa seperti saya, walaupun tidak digaji dulu ternyata saya bisa bekerja karena bola.”
“Yang jelas pasti berangkat dari latar belakang ekonomi yang parah.”
“Jaman saya sistem pembinaan amatir, saya tidak menuntut take home pay. saya hanya menyalurkan hobi, itu saja prinsip saya.“
“Saya bukan dapat fasilitas dari Persebaya.”
“Saya walaupun amatir, jiwa saya professional ketika itu. Olahraga ini bukan politik, bukan apa gak ada kaitan dengan suku,ras,agama gak ada.”
“Saya mampu pakai, gak (mampu) gak usah. Khan itu saja.”
“Bagaimana kamu berprestasi sekarang?, ribut saja sekarang.”
“Secara teknis enggak, tapi kalau disuruh memberikan masukan teknis. Mungkin saya ingat, itu saja. Tapi saya tidak mengikuti perkembangan (sepakbola sekarang).”
Tentang Sistem Pembinaan
“Saya pernah training di 2 negara, yang sepakbolanya maju. Jerman dan Belanda. Waktu pra Piala Dunia, kita TC (Training Camp) sebulan.”
“Setelah pulang, saya berpikir mungkin 25-50 tahun ke depan (saat itu tahun 1987), Indonesia tidak bakal bisa menyamai seperti mereka.”
“Gak usah ngomong pemain yang ada, yang jadi ini gak usah. Kalau saya, ikuti seminimal mungkin sarana dan prasana yang mereka miliki. Ikuti dulu itu, kalau itu bisa. Baru kita mulai membina pemain itu. Kalau sekarang, gak bisa.”
“Saya lihat Pelita Jaya yang sangat mumpuni. Dia punya stadion, lebak bulus hanya untuk bertanding kompetisi. Latihan di Sawangan (Bogor). Di Sawangan, mereka punya 2 lapangan. Disitu dipenuhi dengan diklat. Selain Pelita Jaya, tidak ada yang yang punya.”
“Persebaya, nama besar untuk ukuran Indonesia. Apa Persebaya punya lapangan? Persebaya, kalau 1 minggu 8 hari kompetisi. 8 hari juga lapangan itu penuh. Terus, kita bicara bagaimana kualitas lapangan? Belum lagi Gelora 10 Nopember.”
“Saya pernah camp di Bayern Urdingen, Jerman. Bayern Urdingen dulu divisi utama liga Jerman. Lapangannya ada 25 buah, dalam satu kawasan. Berbagai karakter lapangan. Stadion dia hanya untuk kompetisi. Kita mau main disitu, lihat lapangan lihat saja. Tidak boleh menginjak (lapangan). Jangankan pakai sepatu bola, pakai sepatu kets pun tidak boleh. Kalau di Indonesia ngak lah, ngak bisa.”
“Maka dari itu, jika berbicara prestasi. Semua orang merasa pinter. Masak sih, Indonesia, 200 juta mencari 11 orang saja tidak bisa?. Ngomong gampang, tapi tidak pernah berpikir.”
“Saya main bola di tempat ini, kira-kira prestasi sampai dimana?. Kenapa saya ngomong seperti itu? Karena sarana dan prasarana (Infrastruktur) hanya segini, bagaimana berprestasi tinggi? Tidak bisa.”
Profesionalisme
“Tahun 87 saat kita away ke semarang, Nuryono Haryadi tidak tahu kalau istrinya telah melahirkan, bahkan baru diberitahu setelah pertandingan berakhir.”

“Yang paling sering kena itu saya, karena saya dari bali dan agama saya hindu saya pernah disuruh main di senayan. Saya jalani saja, ini khan sepakbola saya hidup di indonesia yang negaranya beragam saya jalani saja. Waktu itu saya bilang, kalau di bali saya tidak akan main tapi kalau di jakarta (luar bali) saya main karena ini khan demi sepakbola.”
“Saya, kusnadi, Budi (Johannis), Nuryono dan satu lagi saya lupa, kami dipanggil Pak Mangindaan. Dia bilang ‘gua cuman nyiapin isinya saja, kunci rumah pasti siap’. Sampai sekarang kalau saya pulang kampung, saya dianggap punya rumah setelah bawa Persebaya juara 1987/1988 padahal tidak.”
“Sistem saya dulu itu patriotisme, gak ada kompensasi. Bahkan, sama (alm) semua itu (blegoh, agil) rumah waktu juara gak ada. Dan kita gak punya hak untuk nuntut itu.”
“Secara legal formal juga tidak bisa, hanya karena omongan. Tidak ada hitam diatas putih.”
Tentang keinginan kembali ke dunia sepakbola
Kembali ke dunia yang telah membesarkan namanya, Beliau kami tanya soal kemungkinan menjadi pelatih setelah setelah purna tugas dari instansi tempat beliau bekerja saat ini.
“Mungkin saja, tapi kalau itu saya lakukan pastinya bukan karena uang, tapi murni karena kecintaan saya terhadap sepakbola dan tanggungjawab karena memiliki ilmu yang sudah seharusnya di turunkan agar bisa bermanfaat bagi orang lain.”

sumber :

Johny Fahamsyah , Poros Permainan PERSEBAYA 1978

”Tak banyak yang bisa dipetik dari ukuran itu. Kecuali penampilan Joko Malis dan Johny Fahamsyah — 2 nama yang memberikan harapan bagi masa depan persepakbolaan nasional. Joko Malis maupun Johny Fahamsyah adalah tipe penyerang yang mengingatkan orang pada gaya permainan Sutjipto alias Gareng. Mereka bergerak dengan arah yang sukar ditebak. Gocekannya pun boleh.”
Begitulah artikel yang dimuat di koran Tempo, 4 Februari 1978. Sebuah mukadimmah yang tepat bagi pembaca yang belum mengenal siapakah sosok legenda Persebaya kali ini. Bagi khalayak yang mengikuti perjalanan Persebaya di rentang waktu 1970-an, sudah pasti tidak asing lagi. Kepada kami dengan antusias, sang legenda lapangan tengah ini mulai bercerita.
“Sejak kecil saya sudah suka sepakbola, dulu saat kakak saya dan teman-temannya main bola saya selalu dipinggir lapangan melihat.”
“Saat SMP kelas 2 saya disuruh latihan untuk persiapan POPSI (semacam pekan olahraga siswa). Kebetulan yang ikut anak-anak kelas 3 semua, saya paling muda. Saya juga nyeker dan belum pakai sepatu.”
“Pelatih saya bilang, nanti sore datang latihan di lapangan Bogowonto, kita mau ikut POPSI. Kemudian saya membeli sepatu, anehnya setelah memakai sepatu justru saya tidak bisa menendang, tapi saya tetap dipasang. Pas main kami malah kalah dengan skor besar, 5-0.”
“Kakak saya dulu main di THOR bersama temannya, Dollem. Dia punya pengaruh besar terhadap karir saya, dari dia lah saya suka sepakbola.”
Selanjutnya, Johny muda bergabung dengan salah satu klub anggota Persebaya yaitu Indonesia Muda (IM). Di klub tersebut, bakat besarnya semakin terasah dan kesempatan masuk ke Persebaya Junior pun datang.

Gelar pertama untuk Persebaya
“Tahun 1976, usia 18 atau 19, saya dipanggil seleksi untuk Persebaya B persiapan piala Soeratin. Dari seleksi tersebut tersaring 23 pemain, setelah itu baru dilihat umur pemain yang lolos seleksi. Umur saya kelebihan setahun, yang dicari adalah kelahiran 1957 sedangkan saya kelahiran 1956.”
“Kemudian saya diajak Abu Ramli ke kantor kelurahan, disitu usia dan data-data saya ‘dipermak’. Tahun kelahiran diganti menjadi tahun 1958 agar bisa ikut piala Soeratin.”
Bermain di turnamen resmi pertamanya, sejak gabung dengan Persebaya. Johny Fahamsyah mampu berbuat banyak untuk klub kebanggaan arek-arek Suroboyo tersebut.
“Persebaya lolos 4 besar. Grupnya Persebaya antara lain PSP Padang, PSM Makassar, bermain di Malang. Sementara di grup lainnya seperti PSIS, Persija, pertandingannya digelar di Pasuruan. Saat itu Persija diatas angin, namun Persija ingin ‘memilih’ lawan agar menghindari Persebaya. Persija kalah dari Semarang, sementara Persebaya yang harus menang jika ingin juara grup justru bermain imbang dengan PSM Makassar.
Setelah bermain di Malang, Persebaya lolos sebagai runner-up di bawah PSP Padang, fase knock out selanjutnya di gelar di Surabaya.
“Babak semifinal dan final digelar di Surabaya. Persija bertemu PSP Padang sementara Persebaya bertemu PSIS. Saat itu Persebaya vs Persija disebut-sebut sebagai final ideal.”
“Di semifinal, Persebaya bertemu PSIS main hari jumat jam 3 sore tetapi jam 1 setelah sholat jum’at penonton sudah penuh. Saya dan teman-teman satu tim yang tadinya mau menonton partai pertama semifinal sempat heran, waduh wes penuh rek yo opo iki ?. Karena penuh, kami pun tidur sambil menunggu kickoff jam 3 sore.”
“Melawan PSIS kami leading 2-0 kemudian dikejar jadi 2-1, selanjutnya unggul lagi 3-2 kemudian kami lolos ke final dengan skor akhir 4-2. Di final kami menunggu pemenang antara Persija dan PSP Padang. Dan.saya berharap Persija yang lolos ke final.”
“Tahu kita lolos final, Persija semakin bersemangat apalagi pemain mereka top-top semua. Salah satunya Wahyu Tanoto. Ditambah yang dihadapi ‘hanya’ PSP Padang. Skuad Persebaya B juga menyaksikan laga tersebut. Tak disangka PSP Padang bermain ngotot, hingga setengah permainan skor masih 0-0. Di penghujung laga, PSP Padang mendapat corner kick bola di heading dan gol. Pemain-pemain Persija hanya bisa lemas. Kami sempat berkelakar, ‘hahahaha sukur kapok koen’.”
Persebaya B lolos ke final Piala Soeratin, laga yang digelar di Stadion Tambaksari tersebut menjadi laga final pertama bagi Johny Fahamsyah dengan logo Persebaya di dada.
“Di final, kami pikir penonton akan sepi karena lawannya hanya PSP Padang. Ternyata kami salah, penonton justru penuh karena saat itu warga Padang di Surabaya ikut membantu. Penonton dari Padang termasuk mahasiswa Padang yang kuliah di Surabaya, bahkan pada hari itu semua restoran Padang menggratiskan makanan bagi warga Padang. Saat itu nyonya (istri) juga menonton pertandingan tersebut.”
“Sebelum laga lawan PSIS, di mess pemain (Wisma Eri Irianto di Karang Gayam) di parkir sepeda motor yang dijanjikan jika kami juara, alhasil kami pun bermain kesetanan.”
“Saat itu kami dilatih oleh (Alm) Misbach, Di final kami kalahkan PSP Padang 1-0. Motor di reyen keliling-keliling, padahal waktu itu motor belum dibayar hanya sebatas dipamerkan saja. Sebulan kemudian baru saya mendapat STNK.”

Pada Piala Suratin 1976, PSP Padang merupakan tim yang difavoritkan untuk menjadi juara. Semua lawan, termasuk Persebaya Surabaya yang kelak menjadi juara, dilibas. Di babak semifinal yang digelar di Stadion Gelora 10 November, Surabaya (25 Oktober 1976), PSP pun mengalahkan Persija Jakarta Pusat 1-0 melalui gol tunggal Ikrardinata pada menit 72. Namun, di partai akhir (final) di tempat yang sama (29 Oktober 1976), PSP harus mengakui keunggulan tuan rumah Persebaya 0-1.
Hegemoni Persija di piala Suratin memang luar biasa, sudah kuat mengakar. 7 tahun lamanya, dari 1967 sampai 1974 sebelum digeser oleh Persebaya.
1967 Persija Jakarta
1970 Persija Jakarta
1972 Persija Jakarta
1974 Persija Jakarta
1976 Persebaya Surabaya
                                                            Piala Suratin 1976


Persebaya Senior
Setelah berjuang keras bersama IM dan Persebaya Junior, kesempatan untuk bermain di level senior akhirnya datang. Johny Fahamsyah melakoni debut pertamanya dengan Persebaya senior di turnamen Surya Cup. Turnamen sebagai bagian persiapan tim sebelum berlaga di kompetisi Perserikatan di Level Nasional.
“Setelah juara Soeratin Cup saya naik ke Persebaya senior, saya ditarik ke senior untuk membantu pemain-pemain senior yang sudah berumur seperti Abdul Kadir dan Waskito. Ditengah ada saya, Keltjes dan Waskito. Karena saya termasuk paling muda, saya yang disuruh naik turun mengcover pemain senior yang sudah senja.”
“Saat itu persiapan untuk Surya Cup, kami dilatih oleh Om Januar Pribadi (Phoa Sian Liong, pemain Persebaya tahun 60-an satu angkatan dengan Andjiek Ali Nurudin).‘kamu ikut latihan sini’. Waktu itu nama Anjas Asmara (pemain Persija) sangat terkenal, dia sempat bilang dikoran ‘dimana ada bola disitu ada saya’. Sayang, dia tidak ikut main di Surya Cup padahal saya sudah ngebet melawan dia.”
Bermain di level senior, Johny Fahamsyah sempat merasa kurang percaya diri. Hal tersebut bisa dimaklumi karena pemain senior yang bermain bersamanya adalah pemain-pemain dengan nama besar di level nasional.
“Waktu itu saya juga takut dengan pemain senior, disuruh gini saya turuti. instruksi mereka, ‘pokoke dapet bola langsung umpan, jangan lama-lama bawa bola’, ya saya turuti saja.”
“Pelatih bilang ke saya, ‘kamu pemain muda tenaganya lebih, kamu harus punya kelebihan kalau pemain lain punya satu kamu harus punya tiga’. Hampir setiap pagi saya lari-lari, menambah porsi latihan sendiri.”
“Manager IM saat latihan juga sering memantau saya, sebelum pertandingan saya dipanggil dikantor dan dikasih wejangan,‘kamu kemarin harusnya bisa cetak 2 gol, kenapa kamu ini? saya belum pede jawab saya.”
“‘Kamu harus pede, kalau ada kesempatan tendang saja. sepuluh kali tendang kamu bisa gol satu itu sudah bagus’,. Sejak saat itu saya mulai pede, begitu ada kesempatan saya sikat, saya juga mulai berani bawa bola melewati pemain. Setelah itu beliau ngasih saya amplop,‘ini buat kamu biar semangat’ biasanya isinya 75 ribu, saat itu vespa seharga 300 ribu-an.”
  Jongkok dari kiri ke kanan : Waskito, Hadi Ismanto, Joko Malis, Johny Fahamsyah, Abdul Kadir. Berdiri dari kiri ke kanan : Soeyanto, Suharyoso, Rudy W. Kelces, I Wayan Diana, Hamid Asnan.               
                      

“Saat Surya Cup di Surabaya kami melawan Persema,  sebelumnya ada pemain Persebaya (Hartono dan Budi Susanto) yang pindah ke Persema dan sebaliknya ada pemain Persema yang ke Persebaya (Suharyoso), di kedua tim juga ada pemain bersaudara. Kebetulan adiknya Suharyoso main untuk Persema, saking panasnya tensi pertandingan sampai akhirnya terjadi perkelahian. Saat adiknya Suharyoso mau menyerang pemain Persebaya, kakaknya memukul adiknya sendiri dilapangan.”
“Anak-anak sempat bingung dan berkata,‘koen gendeng adikmu dewe mbok sikat. Timbang disikat arek-arek mending aku sing nyikat’, Soeroso bermaksud melindungi adiknya agar tidak jadi bulan-bulanan pemain Persebaya dalam perkelahian tersebut.”
Tak lama setelah bermain bersama pemain senior,Johny Fahamsyah berhasil membawa Persebaya ke final Surya Cup sekaligus juara, inilah gelar pertamanya bersama skuad Persebaya Senior.
“Setelah mengalahkan Persema kami menghadapi Persija, saya sudah menunggu Anjas. Sayang dia tidak main, yang main hanya Andi Lala. Surya Cup, turnamen pemanasan sebelum kompetisi perserikatan 1978, kami menangkan di Surabaya.”
“Di final Persebaya dan Persija menjadi juara bersama, karena setelah perpanjangan waktu skor masih imbang. Kalau dilanjutkan sampai malam tidak mungkin, karena waktu itu tidak ada lampu. Kedua kapten dipanggil, akhirnya diputuskan Persebaya dan Persija jadi juara bersama. Waktu itu penonton meluber sampai sentel ban tapi tidak ada keributan baik didalam maupun diluar stadion.”
bersama piala suratin 1976
Skema Persebaya 1975/1977


   

Juara Perserikatan 1978
Tahun 1978 merupakan puncak karier beliau ketika memperkuat Persebaya, juara nasional kepada kami beliau bercerita banyak
“Tahun 78 kami punya skuad tangguh kiper Suharsoyo, Wayan Diana dan Riono stoper, bek kiri Hamid Asnan, bek kanan Rusdy Bahalwan, tengah saya, Subodro dan Keltjes depan Hadi Ismanto, Waskito dan Kadir.”
“Kadir pemain berpengalaman, larinya kencang, dribble bagus, umpannya juga akurat dia dijuluki kancil.Kalau Waskito tendangan keras seperti pelor kanan kirinya hidup julukannya nyamuk. Pernah saat PON sekitar tahun 67, Waskito ambil tendangan bebas. Kena pemain lawan, langsung nggeletak. Setelahnya setiap Waskito mengambil tendangan, pagar betis lawan selalu menutup kepala dan selangkangan. Dan penonton banyak berteriak, ‘cekeli ndasmu ben ga nggeliyeng.’”
“Sedangkan Rusdy mainnya taktis dan tidak kompromi, dia bek yang ditakuti lawan. Keltjes mainnya halus, skill bagus tapi kalau ketemu pemain dengan tipikal keras seperti Rae Bawa susah dia. Wayan Diana dan Riono Asnan posisi stopper, bek dulu ditakuti, punya karakter kalau sekarang khan tidak bek terakhir yang saya lihat punya karakter ya Bejo. Setelah itu belum ada.”
“Dulu pemain memiliki skill dasar mumpuni, sekarang khan tidak. Kontrol sulit, passing sering salah. Kalau kalah menyalahkan lapangan, kalau dasarnya skill sudah jelek jangan menyalahkan lapangan.”
“Pelatih Persija (Marek asal Polandia) memanggil saya dengan sebutan nona, karena saya tidak pernah bermain kasar.”
“Kompetisi 78 pool Persebaya main di Jakarta, kami melawan Persipal 2-2, lawan Persiraja kalah 2-1, Persisam 7-0.”
“Saat final, skuad Persija dan Persebaya keluar bersama menuju lapangan. Tetapi Anjas keluar dengan menggandeng ceweknya, saat semua sudah dilapangan. Anjas menyusul karena mengantar ceweknya dulu ke tribun, bahkan acara seremonial sempat tertunda karena menunggu Anjas.”
“Melihat Anjas seperti itu saya dan pemain lain sempat dongkol,dalam hati saya ‘jancuk kakean gaya, awas koen yo’.”
Saat final tersebut keinginan untuk berduel langsung dengan pemain top, Anjas Asmara, yang telah tertunda sejak Surya Cup di Surabaya akhirnya terpenuhi. bahkan, Pelatih Persebaya kala itu ,M Basri, memberi tugas khusus untuk Johny Fahamsyah.
“Pelatih M Basri memberi instruksi,‘John dimana ada Anjas disitu harus ada kamu. Anjas berak pun kamu tungguin’.
“Saat pertandingan saya menempel ketat Anjas, dia saya matikan. Kemanapun Anjas pergi saya kejar. Pernah satu momen saat itu bola ada di Persebaya, Anjas saya tinggal. Begitu bola dicuri Persija dan diberikan ke Anjas, Anjas meliuk-liuk mendrible bola. Anjas tidak terkejar karena saya sudah jauh. Kemudian Anjas bergerak menendang bola, untung tidak gol.”
“Saat jeda pelatih marah-marah,‘John kamu gimana? Anjas koq lepas?. Coba tadi gol, bahaya kita’.”
Saya membela diri,‘Om tadi (sebelum pertandingan)Om bilang kalau bola dipegang Persebaya Anjas tinggal, tapi kalau bola dibawa Persija Anjas tempel. Tadi bola di potong Persija jadi saya tidak nutut ngejar Anjas’. Tetapi pelatih tidak mau tahu,‘Kalau bola kena Persija kamu harus tempel lagi’.’Iya om, iya om’, saya cuman bisa bilang begitu.”
Disemprot pelatih saat jeda babak pertama membuat Johny semakin bersemangat menjaga Anjas Asmara dan babak kedua menjadi pertarungan terakhirnya.
“Babak kedua dimulai, Anjas saya tempel ketat. Dia tidak dapat bola sama sekali, bola diumpan ke dia selalu saya potong. 10 menit kemudian dia ditarik diganti Sofyan Hadi, saya sangat lega tugas jadi lebih ringan.”
“Kemudian Joko (Malis) masuk mengganti (Abdul) Kadir, kami memperkuat lini tengah. Joko punya body bagus jadi dia unggul dalam perebutan bola, pada satu kesempatan Joko melepaskan tendangan setengah salto dan gol.”
“Bangga sekali setelah juara, apalagi mengalahkan Persija di rumahnya sendiri. Dulu hanya Persija dan PSMS yang kami takuti, yang lain tidak. Saat melawan tim lain sehari sebelumnya kami masih berani begadang tapi kalau lawannya Persija atau Medan, jam delapan kami sudah tidur. Itu inisiatif sendiri, bukan disuruh pelatih. Lawan kuat ya Jakarta dan Medan, kalau sekarang lawan Lamongan dan Solo saja susah.”
“Saat juara tahun 78 kami punya kebiasaan diskusi, nyangkruk dan ngumpul-ngumpul setelah latihan. Bahan obrolan ya sepakbola, misalnya kalau bola begini pemain lain harus begini dll. Semuanya lebih mudah karena kami punya skill dasar dan bakat kalau sekarang khan tidak, skill dasar aja tidak ada, misalnya sering salah passing, susah kontrol bola.”
“Kalau dulu main bola itu yang dipakai akal dan okol, kalau sekarang main hanya okol saja. Terakhir main pakai akal, okol dan bakat, ya eranya Budi Johanis saja.”
78
Menjadi juara 1975-1977. Jongkok dari kiri ke kanan : Waskito, Rusdy Bahalwan, Judi, Hadi Ismanto, Abdul Kadir. Berdiri dari kiri ke kanan : Joko Malis, Johny Fahamsyah, Suharyoso, Soeyanto, J.W. Didik, Rudy W. Kelces.
78
Mewakili Indonesia di Merdeka Cup 1977
Setelah juara nasional, sejumlah pemain Persebaya dipanggil timnas untuk mewakili di piala merdeka cup 1977.
“90% skuad ini adalah pemain Persebaya.Suharsoyo, Hamid Asnan, Rusdy Bahalwan, Riono Asnan, Soebodro, Abdul Kadir, Hadi Ismanto, Joppy Saununu, Budi Santoso, Didik Nurhadi, dan saya.”
78
Skuad Indonesia di Merdeka Cup 1977
Karir di Kompetisi Galatama
Dua tahun setelah juara, tepatnya tahun 1980, Johny Fahamsyah bergabung dengan kompetisi Galatama bersama Indonesia Muda (IM).
“Setelah 78 juara, tahun 80 saya gabung ke IM di Galatama. Pemain-pemainnya seperti Roni Paslah, Judo Harijanto, Junaidi Abdillah, Hadi Ismanto dll. Pak bos sampai datang ke rumah menemui orangtua meminta saya bermain di IM dengan janji bekerja di Pertamina. Dan orang tua saya sangat mendukung, sebelumnya saya dan Hadi (Ismanto) kerja di PLN.”
Selain tawaran dari IM Johny juga mendapat tawaran dari Niac Mitra. Saat itu banyak pemain Niac Mitra adalah mantan pemain Persebaya seperti Wayan Diana, Rudy W Kelces, Joko Malis.
“Wenas selalu menunggu saya jika latihan, selain itu dia juga menemui orangtua karena dia ingin saya gabung Niac Mitra. Kalau Wenas nunggu, saya keluar lewat pintu belakang. Wenas menawari saya gaji Rp. 150.000,- (kalau sekarang sekitar 15 juta perbulan) dan kontrak 2 juta per musim.”
indonesia muda
Indonesia Muda, berdiri 4 dari kiri. sebelah kanan disamping kiper adalah Joko Malis, Budi Johannis
“Dua tahun saya memperkuat IM, sampai Tunas Inti yang dilatih Anjas Asmara mendatangi saya. Setiap pagi sampai jam 12 dia nongkrong menunggu saya, bos Tempo Scan Pacific (Perusahaan Farmasi pemilik Tunas Inti) memanggil saya menawari saya bergabung dengan Tunas Inti. Saat itu, disana ada Rully Nere, Rony Patinasarani, Joko Malis dll. Hadi Ismanto juga mendapat tawaran dari Tunas Inti tapi dia menolak karena tidak enak dengan Pertamina.”
“Saya sempat bimbang, kemudian cerita dengan bos saya di Pertamina.‘Bos saya ditawari Tunas Inti dapat rumah tipe 45 di Pondok Indah bos’. Bos saya merespon,‘Ambil aja John saya 10 tahun kerja di Pertamina belum dapat rumah, ambil aja John’.”
“Saya menemui pak Beny,bos PT Tempo, dan siap gabung dengan Tunas Inti. ‘Berapa kamu digaji di Pertamina?’. 150.000 pak. ‘Ya sudah kamu saya gaji 300.000, kamu mau kerja boleh mau kuliah juga boleh terserah pokoke’.”
“Orang tua saya mencak-mencak ketika tahu saya keluar dari Pertamina, di Pertamina saya digaji 150.000, di IM 45.000 kalau seri bonus 5000 kalau menang 10.000. Sedangkan di Tunas Inti, saya digaji 300.000 plus rumah kalau menang bonus 100.000. Saya hanya menenangkan orangtua,‘Tenang ae pak pokoke beres’.”
“Pemain-pemain asal Jakarta menolak rumah karena sudah punya rumah, jadi minta mentah-an saja. Saya sempat bingung,‘kamu kalau rumah satu bulan lagi jadi rumahnya gimana?’. Saya bertanya mentahan-nya berapa?’. ’10,6 juta’. Akhirnya saya minta mentah-an dan beli mobil seperti teman-teman yang lain.”
Di Tunas Inti beliau benar-benar merasakan iklim profesionalisme di sepakbola.
“Bosnya Tempo orangnya gila bola, bahkan ketika di Amerika. Dia tidak mau ketinggalan berita, kalau Tunas Inti main dia akan telpon ke Indonesia dan minta telponnya didekatkan radio. Dia telpon dengerin radio selama pertandingan.”
“Waktu di Tunas Inti, pak bos bilang bahwa cedera apapun akan ditanggung kantor. Suatu saat ada pemain cedera parah, sama pak bos besoknya langsung dibawa ke Amerika. Sampai di Amerika dokternya hanya geleng kepala lihat cara dokter Indonesia menangani pasien. Disana dia melakoni terapi jalan di pantai. Enam bulan di Amerika dia kembali ke Indonesia, setelah cedera itu dia yang selalu bermain keras waktu main maupun latihan akhirnya tidak berani bermain keras lagi.”
Meski disibukkan dengan aktifitas sepakbola, beliau tidak melupakan pendidikan, saat bermain di Tunas Inti beliau juga terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI).
“Selama di Tunas Inti saya tidak kerja di Tempo tetapi memilih kuliah di UKI waktu itu masih di Salemba, kalau sekarang pindah ke Cawang. Saat itu ada turnamen antar mahasiswa pemenangnya mewakili Indonesia di Bangkok.”
“Saat itu skuad UKI banyak pemain nasional seperti Rully Nere, di final tahun pertama UKI juara dan di kirim ke Bangkok dan juara. Pelatihnya waktu itu pak Mangindaan, di tahun berikutnya UKI kembali masuk final dan bertemu UPN Surabaya di final saat itu saya berhadapan dengan Yongky Kastanya yang memperkuat UPN, kami kalah dan Yongky yang berangkat ke Bangkok.”
PSSI B
Pekan Olahraga Mahasiswa ASEAN I
“2 tahun setelah memperkuat Tunas Inti saya kembali ke IM selama 1 tahun.  Awalnya mau masuk Niac Mitra tapi kemudian memilih IM meskipun konsekuensinya tidak bisa kerja di Pertamina, kemudian ditawari kerja di tanker tapi saya milih sepakbola. Setahun kemudian IM bubar selanjutnya masuk ke Dolog, lima tahun kemudian saya keluar dari Dolog setelah berkali-kali tes masuk selalu gagal. Selepas Dolog, saya ke Bank Jatim sampai gantung sepatu.”
“Saat di Bank Jatim saya sempat melatih Bank Jatim untuk turnamen antar bank di Surabaya. Saya mengajak Bejo, Uston, Anang Ma’ruf yang saat itu kena skors saat memperkuat PSPS Pekanbaru. Bank Jatim jadi superior, kami menang 11-0, 8-0.”
“Di final kami bertemu Bank Jateng yang diperkuat pemain-pemain liga seperti Seto Nurdiyantoro dll, setangah permainan skor masih 0-0. Untungnya menjelang pertandingan berakhir tim unggul 2 gol. Lega rasanya karena saya berhasil.”
Galatama 1979-1980 => Divisi Utama
(17 Maret 1979 s.d. 6 Mei 1980)
Warna Agung (Jakarta) 25 17 4 4 38 => juara
Jayakarta (Jakarta) 25 14 9 2 37
Indonesia Muda (Jakarta) 25 15 6 4 36
NIAC Mitra (Surabaya) 25 13 8 4 34
Pardedetex (Medan) 25 10 8 7 28
Jaka Utama (Tanjungkarang) 25 10 5 10 25
Perkesa ’78 (Bogor) 25 10 4 11 24
Arseto (Jakarta) 25 7 10 8 24
Tunas Inti (Jakarta) 25 7 7 11 21
Sari Bumi Raya (Bandung) 25 7 7 11 21
Cahaya Kita (Jakarta) 25 8 5 12 21
Tidar Sakti (Magelang) 25 4 5 11 13
Buana Putra (Jakarta) 25 3 6 16 12
BBSA Tama (Jakarta) 13 2 0 11 4
Pertandingan pamungkas liga (Galatama I/1979-1980) itu terakhir pada tanggal 6 Mei 1980 di Senayan: Warna Agung (Jakarta) vs Indonesia Muda (Jakarta) yang berakhir imbang 1-1 dengan pencetak gol Hadi Ismanto (Indonesia Muda) pada menit 14 dan Taufik Saleh (Warna Agung) pada menit 82.

78

Ulasan koran Kompas
Selain di Niac Mitra yang saat itu lagi ngetop-ngetopnya.pemain asal Surabaya ada di IM: Hadi Ismanto, Johny Fahamsyah, dan Joko Irianto (PSSI Binatama seangkatan Budi Juhanis), UMS 80: Hartono, Pelita Jaya: Bonggo Pribadi. Di Tunas Inti ada Riono Asnan, di Warna Agung ada Budi Riva dan Risdianto. Bahkan Joko Malis dan Rudy Kelces yang sudah dua kali memberi gelar untuk Niac Mitra pun bermain di Yanita Utama. Di Arseto ada Abdul Kadir dan Lulut Kistono. Di Jaka Utama Lampung pun ada penjaga gawang M Asyik, Subangkit, dan Maura Hally.
78
Menjadi juara ketiga kompetisi Galatama. Berdiri dari kiri ke kanan : Johannes Auri, Eddy Sabenan, Yudo Hadiyanto, Nus Lengkonan, Makmun, Wahyu Hidayat. Jongkok dari kiri ke kanan : Hadi Ismanto, Junaidy Abdillah, Hasan Tuharea, Johny Fahamsyah, Dede Sulaiman.
Karir di Timnas
Tak hanya bermain di level klub, permainan ciamiknya membuat di panggil untuk memperkuat timnas.
“Selepas dari Soeratin Cup ada 7 pemain dalam skuad Persebaya dipanggil timnas antara lain saya, Joko Malis, Riono Asnan, Ahmad Kautsar, Hamid Maghrobi, Biyanto kemudian kipernya Dodit. Dari 7 disaring tinggal 5 Hamid dan Dodik gugur, kami dipersiapkan untuk turnamen di Iran, sayang akhirnya batal.”
PSSI B
PSSI Yunior
“Selanjutnya diadakan pelatnas jangka panjang di Jakarta, tapi setiap ada panggilan Persebaya kami saya pulang ke Surabaya setelah itu kembali ke Jakarta lagi, sampai di tahun 78.”
“Tahun 79 saya ikut TC jangka panjang timnas di Ragunan. Saat itu PSSI membuat 2 tim hijau dan merah (banteng dan harimau), saya ikut tim yang hijau bersama Hadi Ismanto dll. Kami dipersiapkan untuk turnamen diluar seperti Merdeka Games Malaysia, Kings Cup di Korea dan Jepang Cup sayangnya waktu itu kita gagal juara.”
PSSI B
PSSI B melawan ITALIA junior
“Saat Jepang Cup kami bertemu Tottenham Hotspurs dan Fiorentina, kita satu grup dengan Spurs pemainnya Ardilles dan Villa kalau Fiorentina Antognini. Begitu lawan kita mereka tidak memasang pemain inti karena takut dengan Rae Bawa yang tipikal mainnya keras.”
“Jepang Cup kedua kita bertemu Argentina dengan Maradonanya kita dihajar 7-0 yang main Bambang Nurdiansyah, Subangkit, Budi Johannis, Endang Tirtana dan anak-anak lain yang baru pelatnas di Brazil.”
PSSI B
PSSI B.
Johny Fahamsyah dan Sepakbola
Kepada tim bajulijo.net, Johny Fahamsyah memaparkan pandangannya terhadap sepakbola, suporter dan sisi lain dari sepakbola.
“Pemain idola saya Junaidi Abdillah, gaya mainnya banyak yang menginspirasi saya mainnya juga halus. Selain Jun, saya juga suka Andjiek Alinurudin dan Jacob Sihasale. Jacob striker komplet, shoting maupun headingnya bagus. Kalau Bambang (Pamungkas) ya lewat. Jacob hidungnya bengkok, dia pernah cerita pada saya. Saat lawan Korea bola umpan di dekat tiang gawang, Jacob memaksa melakukan heading dan gol, hidungnya membentur tiang dan bengkok.”
“Kalau kamu main bola,jangan biarkan pemain pengganti main.Begitu pengganti main dan dia main bagus, lewat kamu’. Itu yang selalu saya ingat dan terulang pada Salim Bahmid yang menjadi cadangan abadi saya. Bahkan dia pernah cerita ke saya, ‘aku kasih kesempatan po’o. saya jawab ‘iyo tenang ae’, meski dalam hati ‘entenono ae ga bakalan tak kasih kesempatan’.”
“Dulu saat Persebaya kalah atau menang tidak ada yang namanya kerusuhan, penonton tertib tetapi sekarang justru sebaliknya. Bahkan mobil saya pernah digebrak-gebrak (sama Bonek) waktu saya lewat didaerah Tunjungan. Sejak saat itu saya menggantung atribut Persebaya agar tidak di gebrak-gebrak mobil saya. Harusnya bonek tahu diri, kalau kalah atau main jelek yo jangan rusuh, Ojo njaluk menang tok ae.
PSSI B
saat menjadi pelatih
Bakat besarnya sebagai pemain menurun ke anak laki-lakinya, sayang sepakbola bukan pilihan anak laki-lakinya.
“Pelatih saya pernah bilang di Eropa, orangtua mengantar anaknya waktu kecil olahraga berharap jadi atlit. Kalau gagal dicoba ke musik, kalau gagal di musik ya disuruh fokus ke pendidikan. Kalau di Indonesia, khan tidak orang tuanya tidak mendukung kalau anaknya sepakbola dimarahi dan disuruh les saja.”
“Waktu anak saya kelas 5 SD, saya latih sendiri setelah saya lihat dia punya bakat di sepakbola. Setelah itu saya masukkan SSB di Dolog, pelatihnya di Dolog semua kaget karena ada pemain bagus. Waktu latihan di Dolog, apa yang saya ajarkan diajarkan lagi di Dolog jadi dia terlihat menonjol. Pelatihnya Nicki Putiray, setelah tahu bahwa anak saya, dia bilang, ‘mesti ae wong bapake pemain Persebaya, iki anakmu yo?’. Saya jawab ‘duduk nik, sambil ketawa bareng’.”
“Tapi dia lebih memilih musik. Saya bertanya,’kamu milih mana? band atau bola?’.‘dua-duanya, pak’.‘tidak, harus salah satu, kalau bola ya bola kalau musik ya musik, kalau misalnya besok pagi harus main bola padahal malamnya main musik bagaimana? Harus milih salah satu agar fokus’. saya tidak memaksanya itu soal hati, meskipun banyak pelatih yang menanyakan dia agar latihan lagi, semua harus dari hati saya tidak memaksanya.”


Terima kasih sebesar-besarnya kepada Keluarga Besar Johny Fahamsyah.

SUMBER:
bajulijo.net